Tidak suka beramai-ramai, selalu ingin menyendiri. Itulah aku. Aku hanya suka bermain saat istirahat sekolah dengan Suci, Bima, Astri, Icha, Sabila, Gita, dan masih banyak lagi. Aku juga punya teman yang sedikit pintar, tapi dia sangat sombong. Namanya Ilyany Safia Anggelita, biasa dipanggil Fia.
Oh ya, aku perkenalkan dulu diriku. Namaku Fanny. Aku baru beberapa bulan yang lalu pindah dari Depok ke Jakarta. Kedatanganku tidak disukai Fia. Fia selalu ingin menjadi juara kelas, dan saat bersekolah di Depok, aku sering dapat juara kelas, maka Fia tidak mau terkalahkan oleh prestasiku. Fia hanya mau menang sendiri. Aku sangat kesal sama Fia. Semua pelajaran dianggapnya mudah.
Saat Bu Nita menjelaskan IPA kelas V tentang sifat bahan, Fia sering memotong penjelasan dari Bu Nita. Untungnya Bu Nita sabar. Setelah selesai menerangkan pelajaran, Bu Nita memberi soal.
“Anak-Anak, semuanya sudah mengerti, kan? Sekarang, kalian kerjakan halaman 43!” perintah Bu Nita.
Tiba-tiba Fia menyelak, “Ya, soal-soal itu, mah, gampang-gampang!”
Itulah salah satu kesombongan Fia.
Saat istirahat, anak laki-laki bemain bola. Fia meminta ikutan, karena dia agak tomboi.
“Eh, aku boleh ikutan, enggak?” tanya Fia kepada semua anak laki-laki yang sedang bermain bola.
“Boleh!” jawab Dika, salah seorang yang sedang bermain bola.
Aku melihat perbincangan itu. Tiba-tiba Icha mendekatiku.
“Fanny, kita ke kantin, yuk!” ajak Icha.
“Maaf, ya, Icha. Kamu saja. Aku lagi malas. Aku ingin sendiri. Oh ya, itu Astri lagi sendirian, mending kamu ajak dia saja!” jawabku.
Icha mengangguk.
Tapi tak lama kemudian, bel berbunyi. Anakanak masih banyak yang bermain bola. Aku bergegas memasuki kelas, takut dimarahi Bu Nita. Benar, Bu Nita yang hendak memasuki kelas, marah dengan semua yang sedang bermain bola.
“Eh, sudah bel, kok, masih bermain bola, sih!” Bu Nita berteriak marah.
Semuanya langsung berlari. Di dalam kelas, Bu Nita meminta kepada anak yang tadi bermain bola untuk maju ke depan kelas. Banyak yang sudah maju, tapi tinggal Fia yang tidak mau maju dan mengakui.
“Fia, maju ke depan! Tadi, kan, kamu bermain bola juga!” Astri berseru kepada Fia dengan suara yang keras.
“Apaan, sih!” jawab Fia marah.
Bu Nita mendengar dialog mereka dan lang-sung menyuruh Fia untuk maju.
“Nah, ketahuan, deh! Makanya jujur dan jangan bandel!” kataku pelan.
“Ibu sudah berkali-kali bilang sama kalian, kalau sudah bel itu masuk ke kelas. Siapkan buku untuk belajar. Bukan malah asyik bermain bola. Dan kamu, Fia ... juara kelas tapi bandel banget. Fia, kamu itu wanita. Masa mainannya bola, sih? Yang wajar, dong! Ya sudah, sekarang Ibu maafkan. Tapi, lain kali tidak!” tegas Bu Nita.
Semua kembali ke tempat duduk masingmasing.
Pulang sekolah, aku mendekati Fia, tapi dengan sapaan ramah, agar dia tidak kesal kepadaku.
“Fia, pulang bareng, yuk!” ajakku.
“Yuk!” jawab Fia lembut.
Kali ini Fia baik kepadaku.
“Fia, memang kamu saat kelas tiga, ikut lomba calistung (baca, tulis, hitung)?” tanyaku.
“Iya! Bahkan aku dapat juara kedua,” jawab Fia.