Pernah nggak kamu ngebayangin suatu hari mengalami kecelakaan? Mimpi aja nggak, apalagi mengalami langsung. Habisnya mengerikan sekali, sih! Tapi, seorang anak perempuan yang berusia dua tahun dua bulan pernah mengalaminya, lho! Mau tahu siapa dan bagaimana ceritanya? Yuk disimak .…
Matahari belum bersinar, subuh baru saja usai. Jalan raya Desa Losarang, Indramayu, Jawa Barat, masih lengang. Hanya ada beberapa kendaraan di sepanjang jalan itu. Hari itu, 21 Agustus 1999.
Dari jauh, tampak sebuah sedan hitam yang dikemudikan seorang pria. Seorang perempuan yang duduk di sampingnya memangku anak perempuan berusia dua tahun dua bulan, yang tengah tertidur. Begitu juga dengan penumpang perempuan di kursi belakang, tidur dengan nyenyak.
Dari arah belakang sedan, sebuah truk melaju dengan kencangnya. Sang sopir rupanya tidak bisa mengendalikan laju truknya. Tiba-tiba saja, truk itu menabrak mobil sedan yang ada di depannya. BAMMM ….
Sopir mobil sedan kaget nggak kepalang. Ia juga nggak bisa mengendalikan mobilnya, sehingga menabrak pembatas jalan dan jungkir balik masuk ke areal persawahan. Sementara truk yang menabrak sedan, langsung kabur meninggalkan korbannya.
Warga sekitar yang mendengar bunyi dentuman keras itu, berlarian mencari asal suara. Mereka kemudian menemukan sedan yang nahas itu. Bagian depan dan belakangnya tampak ringsek. Kaca depannya hancur berantakan. Pria dan perempuan yang duduk di depan, diam tak bergerak dengan muka penuh darah.
“Hei … hei … di sini … mobilnya di sini,” teriak seorang warga di pinggiran sawah sambil melambai-lambaikan tangannya. Warga kemudian berkerumun di sekitar mobil tersebut, berusaha menolong para korban. Seorang pria tampak berlari menuju kampung di dekat sawah, untuk memberitahukan kejadian itu kepada lurah setempat.
“Penumpangnya empat orang. Ayo cepat ditolong,” teriak seorang pria yang mengintip lewat kaca mobil.
Bahu-membahu, warga berusaha menolong para korban. Ada yang memecahkan kaca dan merusak pintu. Yang pertama kali berhasil dikeluarkan dari mobil adalah penumpang di kursi belakang. Wajah perempuan itu berlumuran darah. Begitu juga dengan tangan dan kakinya.
“Tolong Pak … tolong,” tangis perempuan itu sambil mengaduh kesakitan.
“Kakak saya … Kakak saya ….”
“Sabar Bu … kami sedang menolongnya,” ucap seorang pria berpeci.
Dua orang warga kemudian membawa perempuan itu ke tempat yang kering. Yang lainnya, tampak berusaha keras menolong korban yang duduk di kursi depan. Dengan susah payah, akhirnya warga bisa membuka pintu mobil.
“Masya Allah … ada anak kecilnya. Hei … di bawah setir ada anak kecil. Cepet … cepet ditolong,” teriak seorang pria dari pintu mobil sebelah kiri.
Di bawah kemudi, tergeletak di lantai mobil, seorang anak perempuan tampak ketakutan. Rambutnya yang panjang dan keriting dipenuhi pecahan kaca. Dari kuping kanannya, keluar darah segar. Saat melihat warga yang menolong, ia menangis dengan kencang. “Mama … Mama .…”
Beberapa warga tampak terkesima sejenak. Mereka kemudian berusaha mengeluarkan korban perempuan yang duduk di sebelah sopir. Wajahnya penuh dengan darah dan pecahan kaca mobil. “Kayaknya udah mati, nih,” ucap seorang warga dengan lirih, saat melihat perempuan itu diam saja tak bergerak. Warga yang lain kemudian memeriksa nadi perempuan itu. Ia mengangguk menyetujui ucapan orang tadi. Innalillaahi wa innaailaihi raaji’un, serempak warga mengucapkannya.
“Yang laki juga sama. Nggak bisa ditolong lagi,” kata warga yang menolong sopir sedan itu.
“Lukanya parah banget. Kepalanya berdarah. Kayaknya terbentur setir waktu mobilnya jungkir balik,” kata warga yang melihat korban kecelakaan itu.
“Kata orang yang ngeliat, yang nabrak truk, trus kabur. Dasar, orang nggak bertanggung jawab,” kata salah seorang warga.
“Woi … ada yang punya linggis nggak? Anaknya susah dikeluarin, nih,” ucap seorang pria meminta linggis. Seorang warga lainnya berlari ke arah kampung untuk mengambil linggis. Butuh waktu lama, sampai si anak berhasil dikeluarkan dari dalam mobil. Anak itu menangis tiada hentinya.
Saat akan digendong, anak itu menyentak-nyentakkan kakinya. Warga yang melihatnya, iba sekaligus sedih. Meski rambut keritingnya dipenuhi kaca dan kupingnya mengeluarkan darah, namun badannya yang gemuk nggak ada luka parah. Hanya lecet-lecet.
“Bude … Bude …,” jeritnya saat digendong seorang warga.