Shara mengayunkan sebuah gantungan kunci berbentuk kupu-kupu. Dia termenung melihat anak-anak seusianya yang berlarian di luar rumahnya. Anak-anak itu baru pulang dari sekolah. Tebersit rasa ingin tahu di hatinya.
Sebenarnya, bukan hanya sekali orangtuanya mencoba mendaftarkan Shara ke sekolah. Hampir puluhan kali. Tetapi setiap tes pendaftaran, Shara tidak pernah lulus. Penyebabnya satu, Shara tidak bisa membaca.
Orangtuanya merasa Shara ber-IQ rendah, sulit menangkap pelajaran, dan bukan termasuk anak yang cerdas. Bahkan, Shara pun tidak tahu kenapa setiap kali membaca, kepalanya terasa terikat kencang dan dia menjadi mual.
“Hei, Shara, sedang ngapain?” tanya Kak Silvia, saudara sepupu Shara.
Shara tersenyum dan menarik napas berat. “Hmmm, kalau Shara melihat teman-teman Shara pulang sekolah, Shara ingin sekali sekolah. Mungkin, kalau Shara sekolah sekarang, Shara sudah kelas 2 SMP. Tapi ... tidak mungkin, Kak,” ujar Shara sedih.
Kak Silvia menepuk bahu Shara pelan. “Jangan menangis, dong. Kakak bisa membantu kamu. Kakak punya teman, seorang psikiater. Mungkin, dia bisa membantumu. Tapi, kamu harus mau tinggal di asrama,” ujar Kak Silvia.
Mata Shara berbinar. “Benar, Kak? Tidak masalah, di asrama juga enggak apa-apa, kok!” seru Shara senang.
Kak Silvia tersenyum menatap adik sepupunya itu.
Keesokan paginya, Shara sudah bersiap-siap. Dia merapikan rambut panjangnya yang hitam. Kak Silvia baru saja tiba, tangan kanannya memegang kunci motor. Kak Silvia memberi isyarat untuk segera berangkat. Shara tersenyum.
Sampai di asrama ....
Bremmm ... bremmm, Kak Silvia memarkir motornya dan Shara segera turun.
Di ambang pintu, seorang perempuan menunggu. Kak Silvia menyapanya dengan ramah, “Hei, Jovita! Sudah lama, ya, tidak bertemu?”
Gadis yang bernama Jovita itu tersenyum. “Iya, terakhir waktu kita lulus SMA. Bagaimana kabarmu sekarang? Wah, kamu enggak banyak berubah, masih aja manis kayak dulu,” puji Kak Jovita. “Oh, ya, ini siapa? Aha, jangan-jangan, dia sepupu kamu, ya?” ujar Kak Jovita lagi.
Shara hanya tersenyum.
Kak Silvia dan Kak Jovita terlibat percakapan seru. Kelihatan sekali mereka sudah lama tak bertemu.
Lalu, mereka bertiga memasuki sebuah ruangan. Ruangan itu berisi sekitar dua puluh orang. Kak Jovita langsung memasuki ruang kecil yang berada dalam ruangan tersebut. Kelihatannya itu ruang kerjanya. Dia mempersilakan Shara dan Kak Silvia duduk.
“Oh, ya, Adik Manis, boleh Kakak tahu siapa namamu?” tanya Kak Jovita memulai percakapan dengan Shara.
Shara mengangguk dan menjawab, “Namaku Sharafina Lavia. Kakak boleh panggil Shera atau Shara. Umurku tiga belas tahun.”
“Hm, ya, kalau nama Kakak, Jovita Andryani. Biasa dipanggil Kak Jojo atau Kak Jo. Kak Vita juga boleh. Tapi, lebih sering dipanggil Kak Jo. Whatever-lah, mana yang gampang aja,” timpal Kak Jo jenaka.
“Nah, sekarang, apa keluhanmu, Shara?” tanya Kak Jo lagi.
Shara mulai menceritakan keluhannya.
“Aku ... mmm ... seharusnya, jika aku bersekolah, aku bisa saja sudah kelas dua SMP. Ta ... tapi setiap mendaftar sekolah, aku pasti gagal. Aku tidak tahu kenapa setiap membaca, otakku terasa terikat dan berat. Aku jadi mual. Tapi, hiks ... hiks ... hiks ...,” tutur Shara mulai menangis.
Kak Jovita dan Kak Silvia berusaha menenangkannya.
Hm, apa mungkin, ya, Shara mengalami disleksia atau kesulitan membaca? Kasihan anak ini, gumam Kak Jovita dalam hati.
Toktoktok. Seseorang mengetuk pintu.
Kak Jovita membukanya. Tampak seorang laki-laki yang berumur kira-kira enam belas tahun. Laki-laki itu tersenyum ke arah mereka.
“Maaf, mengganggu, Kak Vita. Tadi Bu Nillam bilang, ada anak baru lagi, ya? Boleh menghadap kepala asrama sekarang,” ujar anak laki-laki tersebut.
Kak Jovita mengangguk.
“Oh, ya, ini Leo. Dia juga salah satu anak yang tinggal di sini,” Kak Jovita memperkenalkan anak lelaki itu.
Anak yang bernama Leo itu mengangguk. “Namaku Leo Ardian, umurku enam belas tahun. Senang berkenalan dengan kalian,” ujar Leo.
Lalu, Kak Jovita menyuruh Leo mengantar Shara ke ruang kepala asrama.
Mereka berjalan menyusuri koridor asrama. Shara akan tinggal di asrama Harapan Bangsa.
“Ng ... namaku Sharafina Lavia, Kakak ... eh, aku panggil Kakak saja, ya? Aku biasa dipanggil Shara atau Shera,” kata Shara memulai obrolan.