Di pinggir pedesaan yang penuh pepohonan rindang nan hijau, ada sebuah panti asuhan. Namanya panti asuhan Fatimah. Udara terasa segar di daerah itu dengan pemandangan sawah yang membentang. Di samping panti itu, mengalir sungai yang menambah pemandangan tempat itu menjadi semakin indah.
Di depan, samping, dan belakang panti itu, ditanambunga-bungaanekawarna.Pekarangannya tidak terlalu luas, sih! Tetapi, karena penataannya yang bagus, jadi terlihat lebih luas. Panti asuhan itu milik Bu Aminah.
Bu Aminah sebenarnya bukan orang kaya. Dia hidup biasa dengan penghasilan dari suaminya yang seorang pegawai negeri dan dari beberapa petak sawahnya. Karena kepedulian dan kasih sayangnya, hatinya tergerak untuk membuka panti asuhan. Tapi sekarang, Bu Aminah hidup sendirian. Suaminya telah meninggal dunia. Bu Aminah tidak mempunyai anak. Beliau bersama Bu Aisyah, adiknya, merawat dan mengasuh anakanak di panti asuhan. Siapa pun boleh masuk ke panti asuhan itu, terutama anak yatim piatu dan anak-anak yang keluarganya tidak mampu.
Hampir setiap minggu atau bulan, ada donatur yang datang ke panti asuhan Fatimah. Ada yang membantu berupa uang, barangbarang, atau bahan makanan. Sebagian besar adalah donatur tetap, yang datang sewaktuwaktu memberikan sumbangannya. Para donatur itu merasa panti asuhan Fatimah seperti keluarga sendiri. Datang ke panti itu seperti mengunjungi saudara-saudaranya.
Oh ya, namaku Anton Khoiruriza. Aku biasa dipanggil Anton oleh mereka yang tinggal di panti asuhan ini. Meski aku sudah berusia sepuluh tahun, tapi aku tak pernah tahu orangtua kandungku.
Kata Bu Minah (begitulah sapaan untuk Bu Aminah), orangtuaku telah meninggal semua. Sedangkan keluargaku, tak ada yang mau merawatku, karena mereka juga hidup serba kekurangan. Bibiku yang membawaku ke panti asuhan Fatimah ini.
Bu Minah merawatku sejak usiaku tiga bulan. Sejak saat itu, semua penghuni panti ini menjadi keluargaku. Panti asuhan Fatimah pun menjadi rumahku. Sedangkan bibiku tak pernah mengunjungiku sama sekali. Entah mereka sekarang tinggal di mana. Bu Minah pun tak pernah tahu kabarnya.
“Assalamu ‘alaikum.” Terdengar seseorang mengucapkan salam. Serentak semua yang ada di dalam rumah menjawab. “Wa ‘alaikum salam.”
Ternyata Bu Aisyah yang pulang dari berbelanja di pasar. Keranjang belanjaan yang dibawanya terisi penuh oleh sayuran, seperti wortel, bayam, buncis, kangkung, brokoli, dan kentang. Juga beberapa lauk-pauk untuk menu hari ini. Memang, keluarga kami adalah keluarga besar. Pasti belanjaannya pun banyak.
Hari ini Minggu yang cerah. Kami libur sekolah. Tukang sayur langganan pun sedang libur berjualan. Makanya, Bu Aisyah belanja sendiri ke pasar.
“Mana belanjaannya, Bu? Mau aku bantu bawa ke belakang, nih!” Kak Wina menghampiri Bu Aisyah, diikuti beberapa anak lain yang juga ingin membantu.
“Iya, ini belanjaannya. Tolong dibawa ke belakang, ya!” kata Bu Aisyah.
Kak Wina merupakan satu-satunya anak perempuan yang paling besar, yang masih diasuh dan tinggal di panti asuhan Fatimah. Kak Wina menjadi pengganti Bu Aisyah, jika sedang pergi. Dia sudah berumur delapan belas tahun.
Aku mempunyai lima teman yang sebaya denganku, yaitu Aldo, Roni, Abiy, Siska, dan Icha. Aldo, anak yang pintar, namun sedikit susah kalau dinasihati. Roni, anak pemberani, akan tetapi kadang menyebalkan. Abiy, anak yang sedikit pendiam dan sedikit cengeng.
Siska, anak yang pemalu, tapi suka membantu. Satu lagi, Icha, anak yang humoris dan pintar. Kami mempunyai banyak adik di panti asuhan ini. Semuanya berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Meskipun kami bukan saudara kandung, tapi kami merasa lebih dari seperti keluarga kandung.
“Hari ini, Ibu akan masak spesial. Kalian bantu, ya!” seru Bu Aisyah sembari membongkar belanjaannya di dapur.
“Horeee ...!” jawab kami serempak.
“Anton, Aldo, Roni, dan Abiy, tugas kalian membantu Kak Didi bersih-bersih, ya! Sedangkan anak perempuan yang lainnya, bantu Ibu di dapur.” Bu Aisyah mengatur tugas untuk kami.
Bu Minah hari ini harus istirahat, karena sakit akibat kelelahan. Begitulah kata Pak Dokter yang kemarin memeriksa keadaannya. Bu Minah kelelahan mengurusi anak-anak asuhnya, yang kadang-kadang membandel, bertengkar, susah diatur, dan sebagainya. Maklum, mereka masih anakanak. Lagipula, Bu Minah memang sudah tua, sehingga perlu cukup istirahat. Bagi kami, Bu Minah adalah ibu yang baik, bijaksana, penyayang, dan tegas.
Meskipun banyak orang yang mengambil anak dari panti asuhan Fatimah ini, tapi tak jarang mereka kembali lagi untuk mengembalikannya dengan berbagai alasan. Walaupun begitu, mereka masih memberikan bantuan untuk meringankan beban Bu Minah.
Jam menunjukkan hampir pukul sebelas siang. Pekerjaanku sebentar lagi selesai. Kami berebut vas-vas bunga untuk ditata lagi dengan rapi.
“Wah, sudah selesai, nih!” seru Kak Didi gembira.
“Iya, kayak di tempat baru saja, ya!” sahut Abiy.
“Iya, Kak, biar kita enggak bosan lihat pemandangan yang sama terus,” sela Aldo.
“Iya, kamu benar, Do,” kataku menyetujui perkataan Aldo.
Setelah semua selesai, kami berhamburan masuk rumah dan menuju dapur untuk mengambil minum.
Tapi, di dapur, Bu Aisyah dan beberapa anak perempuan masih sibuk. Aku pun bertanya-tanya sendiri. Oh, iya ... mereka, kan, masak spesial hari ini, gumamku dalam hati. Tapi, masak apa, ya? Hatiku masih terus bertanya-tanya.
Setelah istirahat beberapa saat, dari kejauhan terdengar azan berkumandang. Bergegas kami mengantre di kamar mandi untuk mandi dan berwudhu, lalu menjalankan shalat Zuhur berjamaah. Setelah itu, kami bersiap makan siang bersama. Di ruang makan, ada Kak Wina yang sedang sibuk menyiapkan makan siang.
“Hari ini makannya enggak pakai sayur, soalnya Kakak enggak sempat masak sayur!” seru Kak Wina kepada kami.
“Lho, Kak, katanya hari ini masak spesial?” tanya Roni.
“Iya, memang. Tapi itu buat nanti sore,” jawab Kak Wina. “Sekarang makannya pakai sambal dengan lauk tempe dan ikan asin. Nasinya ada di situ, ya!”
“Huh, dasar rakus!” ejek Aldo kepada Roni.
“Hai! Siapa yang kamu sebut rakus?” tanya Roni sedikit geram.
“Tentu saja kamu!” jawab Aldo dengan keras dan ketus.