"Ma, aku ke laboratorium Paman David, ya!” Itulah kalimat yang aku lontarkan setiap hari kepada mama. Aku memang ingin sekali main ke laboratorium pamanku, Profesor David. Tapi, entah mengapa, aku tidak boleh ke sana.
“Jangan, Zeffany! Di sana berbahaya!” larang mama selalu.
“Bahaya? Memangnya ada apa di sana, Ma?” tanyaku.
“Mama tidak tahu. Yang jelas, di sana berbahaya,” kata mama.
Huh, aku bosan mendengar kata ‘berbahaya’ dari mama. Oiya, laboratorium Paman David bersebelahan dengan rumahku. Jadi, wajar, kan, kalau aku sangat ... sangat ... penasaran!
Aku jalan menuju rumah Shera yang letaknya dekat dengan rumahku. Rumah Shera besar, sama dengan rumahku. Tapi, laboratorium Paman David lebih besar!
“Shera!” panggilku dari depan rumah Shera.
“Eh, Zeff!” Shera membukakan pintu. “Ayo, silakan masuk!”
Yang paling aku suka dari rumah Shera adalah tamannya yang luas, dan tentu saja Rabbitty, kelinci Shera. Hm, Rabbitty, nama yang cocok untuk seekor kelinci bukan? Shera memang pencinta hewan. Dia memelihara dua ekor kelinci, dua ekor kucing, dan banyak lagi. Dari semua hewan peliharaan Shera, aku paling suka Rabbitty! Bulu Rabbitty yang berwarna cokelat dan putih, sangat lembut.
“Shera, boleh enggak aku ke ....” Belum aku selesai bicara, Shera memotong.
“Boleh. Kamu mau ke taman, kan? Yuk, Rabbitty ada di sana, kok,” kata Shera. Rupanya dia sudah hafal kata-kataku. Hahaha ...!
Aku dan Shera ke taman bersama. Kami duduk di ayunan.
“Shera, aku penasaraaan banget sama laboratorium Paman David,” ceritaku sambil mengeluselus bulu Rabbitty.
“Ya, aku juga. Tapi, Mama melarangku ke sana,” komentar Shera.
“Sama!” kataku murung.
“Kita ke sana, yuk!” ajak Shera.