Aisyah ...! Ini buku tulis kamu, Nak ...,” teriak Ibu Aminah.
“Masya Allah ... aku lupa! Ya, Bu ... sebentar.”
Aisyah berlari ke tempat ibunya untuk mengambil buku tulisnya. Setelah itu, dia langsung berangkat menuju sekolah bersama teman-temannya.
Untuk menuju sekolah, Aisyah dan teman-temannya harus menempuh perjalanan yang jauh. Mereka pun harus menyeberangi sungai yang ketinggian airnya sedada mereka. Maklum, di pedalaman tidak ada biaya untuk membangun jembatan. Makanya, setiap hari mereka harus membawa dua pasang baju, satu untuk menyeberang sungai dan satunya lagi baju sekolah. Mereka harus mengangkat tas-tasnya di atas kepala agar tidak basah. Dan ... hanya sepasang sendal jepit saja alas kaki mereka.
Sesampainya di seberang sungai, Aisyah dan teman-temannya mengganti baju mereka dengan seragam. Setelah itu, mereka harus berjalan lagi sekitar setengah jam untuk sampai di sekolah. Meskipun begitu, mereka sangat senang bisa menggali ilmu di sekolah.
“Alhamdulillah ... sampai juga kita di sekolah,” kata Ujal, salah seorang teman Aisyah.
Saat pelajaran dimulai, langit kelihatan mendung. Namun, mereka tak peduli. Mereka tetap melanjutkan kegiatan belajarnya. Ketika tetes-tetes air hujan mulai membasahi tanah dan semakin deras, barulah mereka agak sedikit terganggu. Bagaimana tidak, mereka kan, belajar di bawah tenda dengan penerangan lampu minyak.
Semua anak yang belajar di Sekolah Anak Negeri ini sangat tekun belajar. Apalagi kalau ada informasi terbaru tentang pengetahuan. Saat ini, Sekolah Anak Negeri mempunyai dua puluh siswa. Sekolah ini gratis, tidak ada pungutan biaya apa pun.
Ibu Syalika benar-benar pahlawan tanpa tanda jasa yang mengajar di sekolah ini dengan penuh kesungguhan hati. Beliau sama sekali tidak digaji. Sekolah ini memang didirikan oleh beliau bersama Bapak Rohim dan Bapak Kitra.
Jam telah menunjukkan waktunya untuk pulang. Tapi, hujan belum juga reda. Terpaksa mereka harus berteduh di bawah pohon beringin yang sangat besar. Satu jam kemudian, setelah hujan agak reda, barulah mereka mengambil kesempatan untuk pulang.
Sungai mulai terlihat. Mereka pun bersiap-siap mengganti baju sekolahnya dengan baju yang masih basah tadi. Elda, salah satu teman Aisyah terpeleset di sungai. Tapi, untungnya Ujal, Kunta, dan Imam berhasil menolongnya sehingga Elda tidak hanyut di sungai itu. Sedikit lagi mereka sampai di seberang sungai, tiba-tiba hujan turun lagi. Mereka pun bergegas naik dan berteduh di saung. Saung adalah rumah yang terbuat dari bambu dan biasanya ada di tengah sawah sebagai istirahat para petani. Sambil menunggu hujan reda, mereka mengeluarkan buku dan mengulang pelajaran di sekolah tadi.
Hujan telah reda, pelangi pun muncul. Mereka pulang dengan rasa senang sambil menyanyikan lagu kesukaan mereka, Garuda Pancasila.
“Assalamu ‘alaikum ... Bu, Aisyah pulang ...!” seru Aisyah.
“Wa ‘alaikum salam ... kok, kamu baru pulang, Nak?” tanya ibu sambil melipat mukenanya.
“Hujannya besar. Jadi, kami berteduh dulu, deh. Tapi, tenang, Bu ... buku dan baju sekolah Aisyah enggak apa-apa, kok,” kata Aisyah sambil mengganti bajunya.
“Kamu makan dulu, yah ... biar enggak sakit. Kangkung dan air putih hangatnya sudah ibu siapkan di meja. Ibu mau beli sayur dulu untuk ayah, ya,” kata ibu sambil membuka pintu.
Sembari menunggu ibu, Aisyah membersihkan rumahnya. Tidak lama kemudian, ibu sudah kembali dan langsung memasak sayur untuk ayah yang sedang bekerja di sawah. Setelah itu, ibu mengantarkan makanan itu ke sawah.