KLANDESTIN: DUA SISI

Lirin Kartini
Chapter #1

BAB. 1 - GAMANG

Detik jam kecil mengisi keheningan malam yang belum terlalu larut. Masih pukul delapan malam, tapi suasana di luar kamar terasa hening.

Geena menatap selembar kertas yang sejak tadi ada di tangannya. Dia baru saja mengunduhnya dari EduQuin, aplikasi yang digunakan sekolah untuk memberi pengumuman atau jadwal, lalu mencetaknya.

Sudah beberapa kali Geena menghembuskan napas panjang dan sudah berkali-kali pula dia menatap ke arah pintu kamarnya yang tertutup. Bimbang menggelayutinya, antara membuka pintu kamar itu dan pergi ke kamar lain, atau tidak melakukan apa-apa. Kalau saja dia bisa melakukan yang kedua, tentu tidak segamang ini pikirannya.

Lembar kertas di tangannya adalah surat pemberitahuan dari sekolah yang bisa menjamin masa depannya. Surat itu berisi pemberitahuan tentang dirinya yang mewakili sekolah untuk mengikuti olimpiade sains bersama empat orang lainnya. Tentunya setelah melalui proses pemilihan yang ketat.

Mungkin bukan masalah besar jika acara itu dilakukan di dalam kota. Tanpa meminta izin pun, Geena akan langsung menyetujuinya. Sayangnya, acara ini diselenggarakan di luar kota dan memerlukan persetujuan wali murid. Surat pemberitahuan itu juga melampirkan surat pernyataan yang harus ditandatangani orang tua bila menyetujuinya. Hal inilah yang membuat hatinya bimbang.

Seumur hidupnya, Geena selalu menjadi anak baik dan penurut. Dia tidak pernah membantah ataupun meminta sesuatu yang aneh-aneh. Jika dia memintanya baik-baik, seharusnya itu mudah, ‘kan?

Pasti! Terpilih mewakili sekolah, tentunya mereka akan bangga dan mengizinkannya! Sisi lain dirinya berkata demikian untuk menyemangatinya.

Kepala Geena menggeleng lemah. Jemarinya meremas kertas itu hingga tampak sedikit lecek. Entah sejak kapan, dia memiliki ketakutan dan kecemasan berlebihan bila berhadapan dengan mamanya. Bahkan untuk meminta sesuatu yang remeh pun, dia tidak berani.

Baginya, sosok sang ibu sekarang sudah berbeda dengan yang dahulu dikenalnya. Geena masih ingat masa kecilnya yang menyenangkan. Dia bisa bermanja-manja dan bercerita apa saja pada ibunya. Namun, semuanya mendadak berubah setelah sang nenek tinggal bersama mereka karena kondisi khusus. Papa dan Mama Geena sama-sama anak tunggal. Jadi, tidak ada keluarga yang bisa menerima beliau selain mereka.

Geena membuang napas perlahan. Dia lantas berdiri dan menuju pintu kamar, lalu keluar. Langkahnya berhenti tepat di depan pintu kamar lain yang tertutup. Satu tangannya sudah terangkat hendak mengetuk papan cokelat di hadapannya, sementara tangan lainnya masih menggenggam surat dengan erat. 

Lama Geena mematung di sana. Telapak tangannya mulai basah. Jantungnya berdegup kencang. Dia sudah siap mengetuk, tapi tangannya kembali terkulai ke samping badan. Ternyata dia masih belum sanggup untuk menghadapinya sendiri. Dia butuh bantuan. Dia perlu satu orang lagi untuk menenangkan hatinya.

Geena mengambil ponsel dari saku celananya. Ditekannya nomor satu-satunya yang bisa dia mintai bantuan. Beberapa kali nada panggil itu tidak mendapat balasan. Sebuah pesan kemudian masuk beberapa detik setelah dia menekan tombol merah.

Lihat selengkapnya