“Geena!” Suara riang seorang gadis terdengar begitu pintu bus terbuka.
Geena tersenyum melihat sambutan Vivian, sahabatnya di halte dekat sekolah. Si gadis berkuncir dua itu lantas menggandeng tangannya dan berjalan bersama menuju gerbang sekolah.
“Gimana? Udah dapet belum tanda tangannya?” Vivian langsung bertanya dengan mata berbinar yang langsung meredup ketika melihat ekspresi Geena yang lesu.
“Mamaku kemarin lagi sibuk. Papaku juga lembur,” ujar Geena berusaha menyembunyikan kekecewaannya.
Vivian mengangguk dan menepuk-nepuk punggung Geena. “Nggak apa-apa. Bu Lena mintanya terakhir akhir pekan ini, ‘kan?”
Kali ini Geena mengangguk.
“Masih ada waktu beberapa hari lagi. Mau kubantu bilang ke orang tuamu?” Vivian menawarkan bantuan yang segera ditolak Geena.
“Nggak usah. Aku bisa sendiri kok. Bisa-bisa aku yang kena omel karena nggak berani ngomong sendiri.”
“Oke deh. Semoga nanti malam udah dapat ya, Geen. Aku nggak rela kalau sampai posisimu digantiin sama Alika karena nggak dapat izin. Kamu tuh udah paling cocok daripada dia.” Vivian menampakkan wajah kesal saat menyebut nama Alika.
“Kalau memang nggak dapat izin, ya udah memang jatahnya Alika. Biarin aja. Aku nggak apa-apa.”
“Eh, nggak bisa gitu, Geen! Kamu tuh terpilih secara adil! Demokratis! Mereka yang memilih tahu bedanya kamu sama Alika! Alika itu sok cantik, sok pinter cuma karena dari keluarga kaya! Mana sombong dan lagaknya kayak yang paling hebat.” Vivian menirukan gaya berjalan Alika yang mengangkat kepala dan menatap sinis.
Geena tertawa kecil karena Vivian malah tampak lucu, tapi langsung memudar begitu ada yang menyenggol tasnya dari samping.
“Alika!” seru Geena terkejut sambil menjawil Vivian yang belum menyadari kehadiran Alika.
“Eh, ada orangnya toh,” cibir Vivian yang dibalas dengan tatapan tajam Alika.
“Kalau mau ngebadut, belajar dulu sama ahlinya gih. Kamu sama sekali nggak lucu. Malah bikin orang mau muntah.” Alika berkata sinis.
“Kamu sendiri mesti belajar terima kekalahan. Masa nggak kepilih aja nangis?”
Wajah Alika memerah, tapi gadis berambut panjang itu segera mengatasinya dengan berkata, “Itu tandanya orang normal!”
Belum sempat Vivian melancarkan serangan balik, bel pertama berbunyi tanda seluruh siswa harus berada di dalam kelas. Alika menatap Geena agak lama sebelum akhirnya pergi lebih dulu.
“Sialan tuh anak!” maki Vivian kesal.
“Vi, udah, Vi. Jangan mancing-mancing Alika. Aku nggak mau kalau dia sampai lebih membenciku lagi,” pinta Geena memohon.
Punggung Alika yang menjauh menimbulkan banyak pertanyaan di benak Geena tentang awal mula buruknya hubungan mereka. Geena masih mengingat dengan jelas, Alika-lah yang menyapanya lebih dulu saat itu.
“Hai. Mau gabung dengan kelompokku?” Alika mendatangi Geena yang berdiri sendirian di tepi lapangan. “Kamu belum dapat kelompok, ‘kan?”
Geena mengangguk ragu sekaligus malu. Dirinya yang tidak pandai bersosialiasi menjadi canggung saat panitia MPLS menyuruh para murid baru membentuk kelompok sendiri-sendiri. Saat semua anak bergerak cepat mencari teman, hanya dirinya yang kebingungan.