Bel pulang sekolah berbunyi. Geena sedang membereskan meja ketika Bu Lena, wali kelasnya memanggil.
“Geena!”
Gadis berambut gelombang hampir sepunggung itu bergegas mendekati meja guru, diikuti Vivian. “Ya, Bu?”
“Sudah dapat izin orang tuamu?” tanya Bu Lena sambil mengepit map tebal di ketiak.
Geena yang sudah menduga pertanyaan ini lantas menggeleng lemah.
Bu Lena menghela napas panjang. “Kamu harus segera menyerahkan surat itu, Geen. Memang acaranya masih lama, tapi kami juga perlu koordinasi dengan bagian lain terkait akomodasi dan lainnya.”
Kepala Geena menunduk. Dari sudut mata, dia bisa melihat Alika di bangku depan juga ikut mendengar percakapan ini.
“Kalau sampai Sabtu ini kamu belum dapat izin, dengan berat hati, saya memilih Alika untuk menggantikanmu. Kemampuan kalian itu sama, tapi dalam voting kemarin, anak-anak lebih memilih kamu dan kamu menyanggupinya. Seharusnya kamu lebih bisa bertanggung jawab dengan keputusanmu, Geen.”
Lagi-lagi Geena hanya bisa menunduk dan mengangguk pelan. Hatinya gelisah membayangkan posisinya diambil Alika. Tadi pagi dia memang berkata tidak apa-apa, tapi kali ini, dia merasa tidak rela. Ada keinginan kuat untuk mengikuti olimpiade itu. Ada yang harus dia tunjukkan dan buktikan.
“Tenang, Bu. Geena pasti dapat izin kok. Tinggal masalah waktu aja, Bu. Maklum saja, orang tua Geena sibuk.” Vivian memberikan alasan untuk membantu Geena.
“Yang sibuk bukan cuma mereka. Semua punya kesibukan masing-masing,” ujar Bu Lena tegas. Pandangannya kemudian beralih pada Alika yang sudah membereskan meja tapi masih berdiri di sana, seolah tahu Bu Lena akan berbicara dengannya. “Alika,” panggil guru wanita itu.
“Ya, Bu.” Alika mendekat dibarengi tatapan sinis Vivian, sementara Geena tidak berani mendongak.
“Kamu memang cadangan. Tapi, Ibu minta persiapkan dirimu sewaktu-waktu. Jangan anggap enteng, karena ini menyangkut nama baik sekolah,” kata Bu Lena sebelum akhirnya keluar dan meninggalkan mereka bertiga di kelas.
“Baik, Bu,” jawab Alika. Senyum kemenangan samar-samar tampak di wajahnya. Dia lalu menghadap Geena dan Vivian seolah menantang mereka. “See? Kalau memang itu milikku, akan tetap jadi milikku,” katanya.
“Jangan senang dulu, Al. Masih ada waktu beberapa hari lagi. Geena pasti dapat izin, dan kamu yang nangis sambil gigit jari. Ayo, Geen!” Vivian menarik tangan Geena menuju pintu kelas.
Tak disangka, Alika juga melakukan hal yang sama. Mereka bertiga berdesak-desakan tanpa ada yang mau mengalah di pintu yang lebarnya hanya satu meter itu.
“Minggir!” seru Alika ketus. Matanya menyorot penuh kebencian pada Geena.
Geena yang tidak ingin memperkeruh suasana, hendak mengalah dan mengizinkan Alika berjalan lebih dulu, tetapi sahabatnya malah menghalangi pintu.