Reagan memutar kemudinya berbelok sesuai petunjuk GPS di layar. Hiruk-pikuk celotehan anak-anak menyambutnya meski gerbang sekolah masih beberapa meter di depan. Sambil mengamati remaja berseragam putih abu-abu itu dia melajukan kendaraannya perlahan.
Bibirnya membentuk lengkung senyum saat melihat seorang gadis sedang melambaikan tangan ke arahnya. Dari gelagatnya, sepertinya dia sudah tidak sabar. Reagan pun menepikan kendaraan dan berhenti tepat di samping gadis itu. Dia berniat turun, tapi pintu penumpang di sebelah kirinya terbuka lebih dulu.
Si gadis langsung masuk dan duduk sambil mengomel, “Paman kok lama banget sih? Aku nyaris jadi gorengan krispi!”
Reagan tertawa lebar. “Wah, enak tuh, kriuk-kriuk! Hmm, yummy!”
Tidak menggubris candaan sang paman, gadis itu langsung mengulurkan tangannya menagih janji. “Mana hadiahnya?”
“Astaga, Alika! Datang-datang langsung nanyain hadiah. Pamanmu yang super-duper sibuk ini udah bela-belain menjemput dan kasih hadiah nggak dianggap?” Reagan tampak kecewa. “Paling nggak, tanya kabar dulu kek.”
Ganti Alika yang tertawa lebar. “Dari omelan Paman sekarang ini, aku udah tahu kalau kabar Paman baik-baik aja. Nggak perlu ditanya lagi. Makanya, cari pa—”
“Eits, nggak usah bahas itu lagi.” Reagan memotong ucapan sang keponakan. Lalu dia menunjuk ke belakang dengan ibu jarinya. “Itu, hadiahmu. Ambil gih! Dasar bawel!”
Alika tertawa seraya mengambil sebuah kotak di jok belakang. Matanya berbinar-binar ketika membukanya. Sepasang sepatu yang dia incar sejak lama sudah ada di depan mata.
“Yeay! Makasih, Paman!” ucapnya senang.
“Jangan bilang mamamu kalau itu dari Paman. Bisa marah besar dia,” peringat Reagan.
“Iya, iya. Aku tahu. Aku nggak bakal bilang. Toh, nanti aku yang bakal dimarahin, bukan Paman.”
“Baguslah, kalau kamu udah paham. Kamu tahu sendiri ‘kan, kalau ….” Reagan menggantung kalimatnya. Pandangannya tampak menerawang.
“Iya, tahu. Yang aku nggak tahu tuh, kenapa sih Paman mesti ribut sama keluarga besar? Mama sama Papa nggak pernah kasih tahu alasannya.”
“Kamu memang nggak perlu tahu.” Reagan berkata datar.
“Jadinya, aku harus terus berbohong setiap dapat hadiah dari Paman atau ketemu Paman. Mana Pak Danu itu susah banget diakalin.” Alika lalu celingukan ke kanan dan ke kiri mengamati situasi di luar mobil yang masih ramai. “Ah, untung deh Pak Danu belum datang,” katanya lega.
“Memangnya jam pulangmu jam berapa?” Reagan jadi penasaran karena sebelumnya Alika berkata pukul 14.15 yang dianggapnya sebagai jam pulang sekolah.
“Jam dua,” jawab Alika sambil nyengir.
Reagan yang semula terkejut, kemudian tertawa sambil mengusap-usap kepala Alika. “Dasar kamu ini. Masih kecil udah jadi tukang bohong,” ujarnya sambil menyalakan mesin.