KLANDESTIN: DUA SISI

Lirin Kartini
Chapter #5

BAB. 5 - PAVILIUN

Geena buru-buru menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Mendengar tawa canda mamanya dengan Suster Nova di paviliun sungguh membuatnya sedih. Dia iri dan juga cemburu. Mamanya bisa bersenda gurau dan tertawa lepas kala bersama orang lain, tapi dengan putrinya sendiri, senyum pun tidak tampak. Senyum itu sudah lama tidak dia dapatkan sejak kehadiran Oma di rumah ini.

Awalnya, Geena menganggap mamanya hanya merasa sedih melihat keadaan Oma dan bertekad merawatnya. Apalagi mereka sudah lama tidak bertemu. Entah masalah apa yang terjadi di antara mereka sebelumnya, Geena pikir, mungkin sang mama ingin menebus kesalahan itu. Nyatanya, hingga sekarang, keadaannya masih tetap sama.

Sebagai anak tunggal, Geena termasuk anak penurut dan tidak pernah menyusahkan orang tuanya. Segala yang dia minta pun pasti akan dituruti tanpa banyak bertanya. Namun, kali ini dia kesulitan mendapatkannya. Keinginan sederhana seorang anak perempuan yang merindukan tawa dan kasih sayang mamanya. Geena hanya ingin senyum sang mama kembali padanya.

Gelak tawa kembali terdengar dan merasuki gendang telinga Geena. Cukup keras hingga terdengar di rumah utama.

Kira-kira apa yang mereka bicarakan sehingga Mama bisa tertawa lepas seperti itu? Bolehkah aku bergabung?

Pemikiran Geena mengarahkan kakinya bergerak mendekati pintu penghubung dan membukanya. Dari ambang pintu, dia melihat jendela paviliun yang terbuka. Obrolan sang mama dengan Suster Nova terdengar lebih jelas. Dia bahkan bisa melihat bayangan wajah mamanya yang ceria dari pantulan kaca jendela.

Paviliun itu sendiri berupa kamar besar pada umumnya, tapi lebih besar dan luas lengkap dengan kamar mandi dan perlengkapannya. Lemari pakaian, rak obat, dan beberapa peralatan medis tertata rapi di sana. Geena tidak terlalu memahami fungsinya. Yang dia tahu, alat-alat itu untuk pengobatan dan terapi Oma yang mengalami demensia sejak dua tahun lalu. Di sanalah Oma tinggal dengan suster Nova yang menjaga dari pagi hingga sore. Seringkali, sang mama juga berada di sana, seperti sekarang ini.

Kalau dipikir-pikir, Geena tidak tahu banyak tentang Oma. Terakhir kali ingatannya berjumpa dengan Oma adalah saat dia masih berusia lima tahun. Sejak itu mereka tidak pernah bertemu lagi, atau mengunjunginya. Entah apa sebabnya, dia tidak tahu. Baik mama maupun papanya tidak pernah memberikan jawaban yang jelas saat dia bertanya dan melarangnya untuk bertanya lebih jauh.

Saat Oma tiba di rumah ini, keadaannya sudah tidak seperti dulu lagi. Ingatan Oma sudah berkurang banyak. Wanita berusia hampir 70 tahun itu berbicara tidak jelas bahkan berteriak sambil menuding-nuding orang tuanya dengan murka. Mungkin pengidap demensia memang seperti itu.

Geena menggelengkan kepala dan menepuk-nepuk pipinya. Apa pun masalah di masa lalu, yang terpenting adalah masa sekarang. Surat izin olimpiade ini lebih penting. Dia harus melakukannya sekarang. Sebelum itu, dia menghirup udara banyak-banyak untuk menenangkan diri sambil meraih surat izin yang sudah dia cetak ulang semalam.

Langkahnya mantap ketika berjalan melalui teras keramik di samping taman bunga. Gemericik air terdengar dari kolam air mancur buatan yang menempel dinding. Namun, tinggal beberapa langkah tiba di paviliun, dia berhenti. Perasaan ragu dan takut kembali menyelimuti.

Geena paham, perasaan ini hanya berasal dari dirinya sendiri. Tidak ada yang menakutkan dari mamanya. Wajahnya cantik, dia juga tampak seperti manusia pada umumnya, bukan hantu atau semacamnya yang bisa membuat bulu kuduk berdiri. Dia hanyalah seorang ibu yang sedang merawat ibunya juga, yaitu Oma, nenek Geena.

“Geena? Kamu udah pulang?” Suara khas sang mama menyadarkan Geena.

Geena masih terpaku di tempatnya saat Mama Geena dan Suster Nova keluar dari paviliun menghampiri dirinya. Kepalanya mengangguk pelan dan menjawab, “Iya, baru aja.”

“Apa itu?” Pandangan Mama Geena tertuju pada tangan putrinya.

Lihat selengkapnya