Geena masih asyik mengobrol dengan Vivian melalui pesan saat pintu ruang tamu terbuka. Buru-buru dia melompat dari tempat duduknya dan keluar.
Seperti dugaannya, sang papa baru saja pulang kerja. Ingin Geena berlari dan menyatakan kegembiraannya diizinkan ikut dalam olimpiade, tapi urung. Wajah pria 43 tahun itu terlihat amat lelah.
Geena jadi tidak tega menganggunya dan membiarkan pria itu masuk ke kamar yang tadi ia datangi. Namun, karena sudah telanjur keluar, dia memutuskan untuk ke dapur, mencari-cari sesuatu yang bisa menjadi camilan malamnya. Baru beberapa menit dia mengunyah potongan buah di meja makan, terdengar percakapan yang cukup keras dari kamar orang tuanya.
Rasa penasaran membawanya mendekati kamar itu dengan diam-diam. Berusaha mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Apakah mereka membicarakan dirinya yang terpilih mengikuti olimpiade sains? Apakah mereka sedang membanggakan dirinya yang pandai?
“Kenapa dengan Geena?” Suara sang ibu terdengar.
“Yuna, Geena itu anakmu. Kamu harus lebih perhatian sama dia.” Kali ini papanya yang bicara.
“Lha, memangnya selama ini aku nggak perhatiin dia? Setiap hari aku sudah nyiapin semua kebutuhannya. Apa yang dia mau, aku kasih. Kurang perhatian apanya?”
“Perhatian ‘kan nggak sebatas itu, Yun. Aku lihat, akhir-akhir ini kalian sudah jarang ngobrol atau pergi bareng.”
“Juan sayang, anak itu sudah besar. Di umurnya sekarang, mana mau dia pergi sama aku? Dia pasti lebih milih hang out sama temen-temennya. Aku nggak mau jadi orangtua yang kaku dan terlalu ngelarang dia. Dia juga lebih milih naik bus daripada aku antar.”
“Ya, itu ‘kan karena kamu selalu ngomel tiap pagi kalau telat. Sekali-kali kasih kelonggaran gitu. Urusan Oma ‘kan bisa sama suster.” Juan terdengar gusar.
“Nggak bisa dong, Ju! Oma ‘kan mamaku! Masa aku serahin semua ke suster? Aku jadi anak durhaka dong!” Suara Yuna meninggi.
“Bukan gitu, Yuna. Suster Nova ada, ‘kan untuk bantuin kamu. Jadi, jangan semua kamu urus sendiri. Geena juga perlu kamu urus!” Pria berbadan tegap itu tidak mau kalah.
Kemudian hening sejenak.
“Ya, sudahlah, kalau kamu berpikir begitu. Asal jangan kebablasan saja. Geena itu, umurnya saja yang besar, tapi dia masih butuh kamu sebagai ibunya. Apalagi dari dulu, dia ‘kan dekatnya sama kamu.”
“Nggak salah? Bukannya kamu yang selalu manjain dia, makanya dia jadi lebih sering nurut sama kamu?”
“Wajar dong aku manjain dia! Aku jarang ketemu dia karena sibuk. Dia juga nggak sepenuhnya nurut sama aku kok. Dia lebih nurut sama kamu. Percaya deh. Selama ini, dia selalu melakukan apa pun yang kamu suruh tanpa membantah. Tapi, apa itu bagus buat dia?”