KLANDESTIN: DUA SISI

Lirin Kartini
Chapter #9

BAB. 9 - PERTEMUAN PERTAMA

Geena bergegas masuk ke ruang sains dan langsung duduk di kursi yang kosong setelah menyapa empat orang lainnya. Mereka adalah rekan timnya, yaitu Rio, Irene, Nindy, dan Brian yang terpilih berdasarkan suara terbanyak di kelas masing-masing seperti Geena. Rio yang satu kelas dengan Nindy, bertindak sebagai ketua tim. Ini adalah pertemuan pertama mereka sejak terpilih.

“Aku rasa, kita udah saling kenal sejak kelas sepuluh, ya. Masing-masing dari kita juga punya prestasi. Jadi, nggak perlu basa-basi lagi.” Rio membuka pertemuan dari ujung meja.

Geena mengangguk pelan. Meski tidak terlalu akrab dan dekat, tapi dia mengenali empat orang lainnya. Rio dengan jiwa leadership yang tinggi dan kompetitif, memang cocok menjadi ketua tim.

“Kita perlu membagi materi agar tiap orang punya keunggulan,” ujar Nindy yang tampak pendiam, tapi sebenarnya cerdas.

“Tapi, lebih baik, kalau kita pelajari semua materinya. Nggak bisa kalau bergantung bagian masing-masing. Kalau ada yang lupa gimana?” Irene mengutarakan pendapatnya.

Brian yang sejak tadi mengetuk-ngetuk meja dengan bolpen, mengangguk-angguk dan berkata, “Setuju sih. Tapi, bahannya mana?”

Semua mata kini memandang Rio. Pemuda berkacamata itu menghela napas sebentar lalu menjawab, “Kita bisa meminjamnya.”

“Ah … anu ….” Geena yang sejak tadi diam dan menyimak, mengangkat tangan pelan-pelan. Sedikit gugup karena semua mata beralih padanya.

Ketika informasi dari Vivian terucap begitu saja dari bibirnya, Geena lantas menyesalinya karena telah bersikap sok tahu. Sahabatnya itu memang memberitahu nama kakak kelas yang menyimpan materi tahun lalu, tapi Geena belum sempat bertanya bagaimana rupa sosok tersebut dan ada di kelas berapa. Penyesalannya semakin menjadi ketika justru dia-lah yang ditugaskan untuk meminjam materi itu, padahal dia sama sekali tidak tahu sosok pemilik nama Nathan tersebut.

Dengan kepala celingukan, Geena menyusuri koridor lantai dua. Matanya awas memperhatikan sekaligus mencari kira-kira siapa empunya nama tersebut. Namun, sia-sia saja karena tidak ada petunjuk sedikit pun tentang orang itu selain namanya. Selama beberapa saat, Geena hanya mondar-mandir di depan tangga sambil memikirkan, apakah dia harus menanyai satu per satu orang yang dia temui atau ada cara lain yang lebih sederhana, tanpa menyadari sepasang mata telah memperhatikannya sejak lama.

“Anak kelas sebelas, rambut panjang gelombang, tim sains tahun ini. Dia yang namanya … Geena?” Seorang pemuda yang berada di pagar tak jauh dari tangga bergumam sendiri. Tatapannya berpindah dari layar ponsel di tangan ke gadis di depan tangga. Seolah membandingkan dan mempertimbangkan apakah sosok di foto dan di depan matanya adalah orang yang sama.

Foto yang beberapa menit lalu diunggah di media sosial sekolah itu menampakkan lima orang siswa dan dua orang guru pendamping. Keterangan di bawah foto menyebutkan bahwa mereka adalah tim yang akan mewakili sekolah di olimpiade sains tahun ini, sekaligus memohon dukungan dan semangat.

Sekali lagi pemuda itu ingin memastikan dugaannya. Tadi, ketika kembali dari kantin, seseorang mencegatnya. Gadis dengan hiasan kepala lucu tiba-tiba berkata bahwa akan ada yang mencarinya nanti dan memerlukan bantuannya. Ciri-ciri yang disebutkan persis dengan yang apa yang dia lihat sekarang.

Perlahan, pemuda itu mendekati tangga dan bertanya hati-hati, “Geena?”

Sontak Geena berhenti bergerak dan menatap sosok di depannya. Kepalanya mengangguk gugup, tapi pemuda dengan rambut pendek belah samping itu malah tersenyum.

“Kamu ngapain mondar-mandir kayak setrikaan?” tanyanya kemudian. “Kamu dari tim lomba, ‘kan? Kayaknya aku tahu deh siapa dan apa yang kamu cari.”

Lihat selengkapnya