Reagan melirik gadis yang duduk di sampingnya. Gestur tubuhnya menunjukkan rasa terkejut, cemas, sekaligus takut.
“Kamu nggak apa-apa? Sepertinya kamu shock karena kejadian tadi,” tanya Reagan ramah. Bergantian matanya menatap si gadis dan jalan raya di depan yang mulai gelap karena matahari hampir tenggelam seluruhnya.
Tidak ada jawaban atau reaksi apa pun dari sosok di samping Reagan. Dia masih menundukkan kepala dan menggenggam ponsel dengan erat, terlihat dari buku-buku jarinya yang menonjol.
“Untung saja hapemu nggak rusak karena terjatuh tadi.” Reagan masih berusaha mencairkan suasana canggung dalam perjalanan. Ponsel gadis itu memang sempat terjatuh dalam usahanya mencegah penjambret kabur lebih jauh.
Anggukan samar dari samping membuat Reagan mengulas senyum. Dia lalu mengajukan pertanyaan lain yang mungkin terlihat bodoh dan tidak perlu. Namun, akan lebih aneh jika dia tidak melakukannya. Rencananya bisa gagal bila gadis itu takut dan menjaga jarak dengannya.
“Namamu siapa?”
“Gee-Geena …,” jawab si gadis sambil melirik sekilas sosok pria di sampingnya.
“Nama yang bagus.” Reagan mengangguk-angguk. “Sepertinya kamu masih takut sama saya, ya? Tenang saja, saya bukan orang jahat kok. Tapi, itu bagus, kamu waspada dengan orang asing. Zaman sekarang banyak orang jahat,” sambungnya saat melihat Geena belum berani menatapnya.
“Bu-bukan begitu.” Akhirnya Geena mengangkat kepala dan melihat wajah sang penyelamat dengan jelas.
Bola mata yang bulat dan bersinar cemerlang itu membawa benak Reagan pada seseorang. Hanya saja, binar mata di depannya sedikit redup, mungkin karena kejadian barusan. Atau, justru karena dirinya?
Gadis itu tampak waspada, seperti ada benteng pertahanan tak terlihat antara dirinya dan orang asing, sekalipun itu penolongnya. Hal yang wajar bagi remaja seusianya untuk tidak langsung percaya dengan orang asing. Apalagi, keberadaannya di kursi samping Reagan, juga bukan karena hal biasa.
Reagan memutar kembali kejadian tadi dalam kepalanya. Pertarungannya dengan dua penjambret tadi, sesungguhnya bukan hal yang sulit diatasi. Meskipun punggungnya terluka, siapa sangka hal itu justru membuka jalan bagi rencananya?
Pekik yang terdengar dari mulut gang saat pisau lipat menancap di punggung, membuat Reagan menoleh. Tatap mereka pun bertemu. Si pemilik suara tampak terkejut dan ketakutan, mungkin juga keheranan saat senyumnya tanpa sadar mengembang lebar.
Akhirnya aku bertemu denganmu.
Jeritan kembali terdengar ketika penjambret yang lain juga menyerang karena mengira Reagan lengah, atau berharap luka tusuk itu telah membuatnya kalah. Sayangnya, luka kecil itu tak menghalangi Reagan untuk melanjutkan pertarungan. Dengan mudah dia membuat dua lawan itu tumbang dan akhirnya lari terbirit-birit.
Sungguh pertemuan yang luar biasa, bukan?
Sejujurnya, Reagan cukup kesal rencananya berantakan ketika secara tiba-tiba, Alika memergoki dirinya. Mau tak mau, dia menuruti permintaan gadis itu sampai sekretarisnya menelepon setelah beberapa menit perjalanan. Entah kebetulan atau tidak, bus yang ditumpangi Geena lewat. Sungguh kombinasi yang pas untuk mengubah rencana.
“Yaah, Paman! Tanggung amat, masa nganterin cuma sampe sini doang?” Alika memprotes dengan bibir cemberut.
Reagan memasang wajah kecewa sambil mengacungkan ponsel di tangan. “Apa boleh buat, urusan kerjaan.”
Alika dan Nathan dengan terpaksa turun dari mobil. Sedangkan Reagan berbalik arah mengikuti bus yang tadi dilihatnya.