“Dari mana saja kamu jam segini baru pulang?!” Suara tinggi wanita yang masih tampak cantik di usianya yang sudah kepala empat, menyambut kedatangan seorang gadis di teras rumah. Bahunya naik turun dengan deru napas yang saling memburu, tanda kekhawatiran yang wajar bagi seorang ibu.
“Maaf, Geena terlambat. Tadi—” Si gadis menjawab pelan dengan kepala menunduk. Ingin dia memberikan alasan yang pasti, tapi sang ibu keburu memotongnya.
“Nggak ngasih kabar sama sekali! Nggak bisa dihubungin juga! Bikin orang kuatir aja!”
Geena masih diam menunduk, membiarkan sang ibu meluapkan emosi yang mungkin sudah tertahan sejak tadi. Baginya, itu lebih baik daripada tidak dianggap. Dengan begini, dia bisa merasakan dan mengetahui bahwa wanita yang telah melahirkannya delapan belas tahun silam itu, masih memedulikan dirinya, putri semata wayangnya.
“Kamu nggak tahu, gara-gara ulahmu ini, semua orang jadi repot! Jadi susah!” Wanita itu masih terus mengomel di teras rumah, tak peduli suaranya akan terdengar oleh tetangga sekitar.
Jelas dan wajar baginya untuk marah. Kekhawatiran akan putrinya yang belum pulang ke rumah sejak siang, membuat naluri keibuannya beraksi. Segera dia menelepon sang suami yang masih berada di kantor. Kecemasannya semakin memuncak saat teleponnya tidak tersambung.
“Juan! Kenapa lama banget angkat teleponnya?!” Wanita itu mengomel begitu teleponnya terjawab di panggilan kelima.
“Aku masih ada telepon penting,” jawab Juan datar. “Ada apa sih?”
“Geena ada telepon kamu? Atau kasih kabar kalau pulang telat?” Tak sabar, wanita itu menanyakan dua hal sekaligus.
“Nggak ada. Kenapa?”
“Geena belum pulang! Biasanya jam tiga udah pulang. Ini belum! Aku telepon nggak nyambung!”
“Hah? Ah, kirain ada apa. Yuna, Yuna, anak SMA pulang telat sesekali wajarlah.” Juan terkekeh.
Dahi Yuna berkerut, tampak heran dengan reaksi suaminya yang biasa saja. “Ini udah hampir jam enam lho! Biasanya dia kasih kabar kalau pulang telat!” bantahnya kesal. Suami yang diharapkan mampu memberi jawaban atau paling tidak menenangkannya, malah membuat dirinya semakin cemas.
“Mungkin kehabisan baterai? Mungkin dia lagi hang out sama temen-temennya?”
“Kamu ini kok santai banget sih?!”
“Lho, bukannya kamu yang bilang nggak mau jadi orang tua yang kaku dan banyak ngelarang?”
“Kok jadi ungkit-ungkit itu? Nggak ada hubungannya, Ju!” Yuna mulai emosi.