“Woii! Bengong aja, lihatin pangeran impian ya?” ledek Vira membuyarkan lamunan Moza yang sedari tadi fokus memandangi Anthoni yang sedang bermain basket di lapangan.
“Iiih, kebiasaan deh ngagetin orang, lihat tuh skill Anthoni main basket makin oke aja, jadi makin kagum sama dia deh,” sahut Moza.
“Hemmm, lihatin skillnya atau orangnya???”
“Ya skillnya lah, yaa ... orangnya juga sih, hehe,” Moza tersipu.
“Udah deh mending kamu ungkapin perasaan kamu ke dia dan sudahi masa jomblomu itu,” kelakar Vira sambil mencolek dagu sahabatnya itu.
“Udah gila kamu ya, mana ada cewek nembak duluan, ngaco!”
“Diiih, kuno deh kamu, ngga ada aturan harus cowok yang gercep duluan, kita sebagai cewek juga harus bisa selangkah lebih maju tau.”
“Oyeahh?! Udah ah mau ke kelas, calon istri Anthoni mau belajar, daaahh!” Moza beranjak dari bangku sambil tertawa. Disusul Vira yang kesal dengan candaan sahabat baiknya itu yang selalu tak serius menanggapi sarannya untuk segera mencari pacar.
***
Mata pelajaran pun berakhir, Moza berjalan menuju halte untuk menunggu angkot.
“Moza! Ayo naik,” seru Vira yang lewat mengendarai mobilnya.
“Kita nonton yuk, ada film keren lho, mau ngga?” tanya Vira.
Moza yang sudah duduk disamping Vira pun menghela napas, “Sorry, Vir. Aku harus ke butik bantuin ibuku, mungkin next time ya.”
Vira menatap sejenak ke arah Moza lalu mengangguk. Dia paham betul dengan kondisi Moza yang harus bekerja membantu ekonomi keluarganya. Vira adalah sahabat Moza sejak duduk di bangku SMP, Vira menyadari bahwa sahabat baiknya itu sangat terpukul dengan kepergian ayahnya yang meninggal lima tahun lalu akibat serangan jantung, yang membuat dirinya harus tinggal bersama ibu dan neneknya dengan kehidupan yang berubah drastis, menjalani hidup penuh kesederhanaan sudah biasa Moza lalui. Berbekal uang pensiunan dari mendiang ayah, Moza beserta ibu tinggal di rumah neneknya yang kecil dan sederhana tapi nyaman.