Bunyi dering membuat Anthoni merogoh ponsel yang ada di saku celananya.
"Bro! kemana aja, lama ngga ada kabar darimu. Aku mau nikah, usahain dateng ya Bro di moment sakralku, tanggal 5 Juni nanti."
Temanmu, Samuel.
Begitu pesan Samuel lewat salah satu akun medsos pribadinya. Memang begitu lama mereka tidak komunikasi dengan Anthoni sejak menghilang di hari pertunangannya dengan Moza. Dia seolah menarik diri dari dunia lamanya.
Anthoni hanya menghela nafas setelah membaca pesan dari teman sekolahnya itu, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke layar laptop.
Anthoni menyadari bahwa dirinya tak akan datang memenuhi undangan Samuel, lantaran saat ini dia berada di luar negeri bersama keluarganya.
***
Di PT ANDIRA PRASTA, Kanada.
Tok, tok, tok!
Bunyi ketukan pintu di ruang kerja Anthoni.
"Anthoni, papa mau ngomong," kata Pak Prasta, ayahnya Anthoni.
"Iya, Pah, ada apa?" Anthoni menghentikan sejenak aktifitasnya di depan laptop.
"Begini, seperti yang kamu tahu, bisnis keluarga kita kan lagi berkembang pesat saat ini, dan mengenai rencana mendirikan perusahaan baru di Jakarta, papa udah urus semuanya, gedung udah siap, lengkap dengan segala isinya tapi papa ada kendala sedikit. Anak papa kan cuma kamu, papa mau kasih pilihan, kamu mau lanjut ngurus bisnis kita yang ada di Kanada atau kamu pilih yang di Jakarta? kalau untuk sementara waktu, papa percayakan sama Om Daffa, tapi kan dia juga punya pekerjaan sendiri, ngga mungkin dia selamanya ngurus bisnis kita disana. Jadi, mau ngga mau papa kasih pilihan sama kamu, Nak. Mau papa yang kelola bisnis disini, dan kamu di Indonesia, atau sebaliknya? Papa kasih waktu buat kamu berpikir," jelas Pak Prasta pada putranya.
Anthoni mengernyitkan kening, betapa sulit baginya menentukan pilihan, di satu sisi dia sudah mulai nyaman menetap di Kanada, namun di sisi lain dia juga merindukan kampung halamannya. Selama ini dia hanya disibukkan dengan bisnis dan karir, memang dia tergolong orang yang capable, cerdas, dan bisa jadi andalan keluarga, terutama ayahnya. Menjadi putra tunggal, tentu sulit menentukan pilihan sendiri, mau tidak mau dia lah yang harus jadi penerus bisnis orang tuanya, terlebih pemuda dua puluh lima tahun itu memang gemar menambah wawasan dan mengasah skill, bahkan di tempat yang jauh sekalipun. Pun dengan cita-citanya ingin menjadi pebisnis sukses seperti sang Ayah.
"Emm..Anthoni bingung, Pah. Belum bisa ngasih keputusan sekarang, apa lagi masih banyak urusan yang belum aku selesaikan disini, meeting dengan beberapa klien pun sudah ada beberapa jadwal. Biar aku selesaikan semuanya dulu ya, Pah, baru nanti Anthoni pertimbangkan pembahasan tadi," jawab Anthoni yang terlihat lelah dengan segala kesibukannya.
"Iya, papa ngerti kok, papa ngga akan nyuruh kamu kasih jawaban cepat, silakan kamu pikirkan dulu baik-baik ya, kalau gitu papa pergi temui tamu dulu ya," tuturnya seraya menepuk bahu Anthoni.
***