Minggu pertama proses terapi sudah dilewati, Moza masih setia menemani sang Ibu di rumah sakit. Dokter belum mengijinkan Bu Hesti untuk pulang lantaran masih harus menjalani terapi selama sebulan penuh. Selanjutnya, barulah boleh menjalani perawatan dan terapi di rumah. Sesekali Moza kembali ke rumah untuk mengecek keadaan rumahnya yang sekarang sudah ada asisten rumah tangga yang rutin merapikan rumah.
Siang itu, setelah selesai menemani ibunya terapi, Moza menyuapi makan siang dan memberikan obat untuk sang Ibu.
TOK ... TOK ... TOK.
"Masuk!" teriak Moza dari dalam ruangan.
Datang seorang lelaki dengan parcel buah dan bungkusan plastik di tangannya. Ya, tentu saja dia adalah Anthoni. Dia menghampiri Moza yang sedang menyuapi ibunya.
"Hai, Bu! Gimana kabar ibu hari ini?" sapa Anthoni dengan tersenyum simpul.
"Nak Anthoni, kabar ibu baik. Kamu kok repot-repot jenguk ibu terus, gimana dengan kerjaan kamu di Kantor?" jawab Bu Hesti.
"Ngga papa, Bu. Saya lagi ngga sibuk kok. Ini saya bawakan buah dan puding cokelat buat ibu, dimakan ya, Bu." Anthoni meletakkan buah tangan di atas meja.
"Duuuh, makasih banyak ya, kamu tahu aja kesukaan ibu. Tapi ibu masih kenyang, baru aja selesai makan. Nanti pasti ibu makan pudingnya. Sekarang, ibu mau istirahat dulu ya," ucap ibu seraya tersenyum.
"Oh, iya, silakan, Bu. Za, kamu apa kabar? Kamu sehat kan?"
"Aku baik-baik aja. Emm ... makasih ya, udah care sama ibuku," jawab Moza seraya berdiri.
Anthoni tersenyum, "iya, sama-sama." Mereka saling menatap untuk beberapa saat. "Emm ... Za, ada yang mau aku omongin sama kamu, boleh ngobrol sebentar di luar ngga?" tanya Anthoni.
Moza terdiam sesaat sambil menoleh ke ibunya yang sudah tertidur. "Oke!" Moza mengangguk pelan.
Keduanya duduk di Kantin rumah sakit. Baik Moza ataupun Anthoni masih terlihat canggung. Sesekali mereka saling menatap, lalu menunduk, dan mengalihkan pandangan.
"Katanya mau ngomong, ngomong aja," kata Moza.
"Ehemm ...." Anthoni berdehem. "Za, aku sayang sama kamu, aku pengen perbaiki hubungan kita yang sempat hancur karena ulahku. Aku minta maaf atas apa yang udah aku lakuin ke kamu tiga tahun lalu. Aku bener-bener menyesal, mungkin aku terlalu egois karena lebih memilih karir lalu ninggalin kamu gitu aja tanpa ngasih tahu kamu alasannya." Anthoni menatap dalam kedua mata gadis di hadapannya. "Za, aku sangat mencintaimu, aku mau kita bisa sama-sama lagi kayak dulu, aku pengen selalu ada di dekatmu." Anthoni memegang tangan Moza dengan lembut.
Moza menghela napas panjang, "aku udah maafin kamu kok, tapi kalau untuk balik lagi kayak dulu, untuk saat ini aku belum siap. Aku juga ngga tahu perasaanku sekarang tuh gimana, yang jelas, untuk mengembalikan sebuah kepercayaan yang udah kamu rusak, tidaklah mudah." Moza tertunduk.
"Ya, aku ngerti kok apa yang kamu rasain, semua ini salahku. Aku siap nerima apapun konsekuensinya. Aku akan nunggu sampai kamu siap nerima aku lagi, Za. Mungkin aku ngga bisa menjanjikan apapun sama kamu. Tapi aku janji akan selalu ada di dekatmu, saat suka dan dukamu, aku janji, Za." Anthoni menggenggam tangan Moza.
"Kamu ngga perlu menebus kesalahanmu sama aku, Anthoni. Seperti yang aku bilang, aku udah maafin kamu. Aku anggap apa yang udah kita lalui, itu adalah sebagian takdir yang harus kita jalani. Kamu bisa jalani kehidupanmu selanjutnya seperti yang kamu mau, aku tahu kamu sedang sibuk dengan urusan bisnis keluargamu. Kamu harus fokus untuk itu. Karirmu juga penting untukmu. Aku ngga akan menghalangimu untuk hal itu."
"Za, aku datang ke Jakarta bukan hanya untuk urusan pekerjaan. Tapi ada hal lain yang sangat penting, ini menyangkut hati. Aku ngga bisa pungkiri, selama ini aku ngga bisa lupain kamu, perasaanku padamu ngga pernah hilang sedikit pun, Za. Aku masih sangat mencintaimu, aku ingin kita menikah." Anthoni memberanikan diri mengungkapkan isi hati yang sesungguhnya.