DALYA
April 2023
DISANGKA pembaca, hidup diakui sebagai penulis karena punya buku di rak toko buku itu adalah sesuatu yang keren —setidaknya itu yang terbesit di pikiranku dulu.
Aku juga pernah berpikir ketika novel kita dijual di toko buku, artinya kita punya penghasilan tambahan dari hasil berimajinasi. Belum lagi tergiur oleh cerita sukses penulis platform oranye yang punya pembaca ratusan ribu. Hidup di Bandung yang serba cepat dan serba digital membuat semuanya terasa mungkin. Itu sebabnya dulu aku begitu menggebu ikut kelas menulis.
Kantin kampus hari itu lengang. Bau karbol yang belum kering bercampur dengan aroma ayam bumbu balado dari kotak makan mahasiswa tingkat akhir. Kursi plastik berderit saat aku duduk. Suara mesin minuman otomatis berdengung di sudut, menyanyikan ritmenya sendiri. Kulit tanganku terasa lengket, entah dari meja yang belum dilap atau dari kecemasanku sendiri.
“Dal!” Suara itu muncul bersamaan dengan suara sepatu hak yang terhenti di depan mejaku. Aku mendongak.
Alana. Blazer abu-abunya licin dan terlipat rapi di siku. Bibirnya dibingkai lipstik nude yang terlalu sempurna untuk disebut santai. Namun, senyumnya—seperti kode error dalam sistem yang tampaknya normal.

Dia duduk tanpa permisi kemudian membuka laptop tanpa basa-basi. “Selamat, ya. Keren banget kamu. Baru ikut nulis, langsung juara. Sorry baru sempat ngucapin.”