
ETHAN
KANTOR saya terletak di jantung kota Bandung. Bangunannya berdiri tinggi dengan kaca reflektif membelah langit, setiap pagi memantulkan awan yang seolah ikut antre masuk. Lobby-nya dingin dan mewah, aroma kopi mahal bercampur parfum para tamu elite yang datang dan pergi. Di sinilah tempat orang-orang penting berkumpul: pejabat, tokoh ternama, bahkan Presiden pernah menginjakkan kakinya di sini.
Saya baru akan mengetik ketika suara sepatu hak mendekat cepat.
“Ganteng!” Suara Sari muncul sebelum wujudnya.
Saya mendongak. Sari—staf administrasi andalan, ibu dua anak, selalu heboh.
“Bisa tolong temui tamu di ruang Aruna? Biasa, klien penting. Nggak semua orang bisa handle mereka. Tapi kamu... ya, kamu, kan, selalu berhasil.” Matanya menyipit penuh makna. “Mereka suka yang ganteng, ramah, dan humble. Fix, kamu combo itu.”
Saya hanya tersenyum. Tugas memang banyak, tapi saya sadar bekerja di sini bukan soal keberuntungan. Saya tahu rasanya ditolak mentah-mentah hanya karena lulusan kelautan, dianggap tidak relevan, tidak punya orang dalam. Kerja di sini adalah doa Ibu yang dijabah. Saya tidak mau menyia-nyiakannya.
Saya baru saja berdiri ketika Sari datang lagi. Kali ini menyodorkan map tebal.
“Tolong kamu aja deh yang sign. Aku lagi malas ketemu Bos. Mood-nya kayak cuaca Bogor, nggak bisa ditebak.”