ETHAN
LANGIT sore berubah keemasan ketika saya memasuki kafe kecil di sudut jalan. Aroma kopi hitam yang baru diseduh bercampur dengan wangi roti panggang, menyusup ke dalam udara hangat ruangan. Denting sendok beradu dengan gelas terdengar dari belakang bar, diiringi suara mesin espresso yang mendesis. Sesekali gelak tawa pelanggan lain terdengar berbaur dengan musik instrumental yang mengalun pelan dari speaker di pojok ruangan.
Saya melangkah masuk dengan tenang menyesuaikan ritme napas—tidak tergesa-gesa, tidak terlalu lambat.
Pandangan saya menyapu ruangan.
Di pojok dekat jendela, Dalya Salim sudah duduk dengan punggung tegak. Hoodie hitam kebesaran membungkus tubuhnya, lengan panjangnya sedikit terangkat saat jemarinya mengetik di depan layar laptop. Tudungnya tidak menutupi kepala, rambut hitamnya dikuncir asal, meninggalkan beberapa helai yang jatuh di sisi wajahnya. Tidak ada riasan, tidak ada aksesori mencolok—hanya ekspresi serius yang seolah menciptakan batas tak kasatmata antara dirinya dan orang-orang di sekitarnya.
Di sampingnya, segelas es kopi masih utuh, tetesan air dari lelehan es meninggalkan jejak lingkaran basah di atas meja.
Lalu seperti sesuatu yang terprogram dalam dirinya, ponselnya yang tergeletak di samping laptop berkedip sebelum nada alarm berbunyi pelan. Tanpa melihat, masih fokus dengan layar laptopnya, Dalya mematikannya dengan sekali sentuh—refleks yang menunjukkan kebiasaannya.
Saya mendekati mejanya memastikan langkah saya cukup terdengar untuk tidak mengejutkannya. Ketika saya berhenti di samping meja, Dalya akhirnya mengangkat kepala. Matanya langsung mengunci ke arah saya—sebuah tatapan cepat, penuh perhitungan.
“Ethan, ya?” Suaranya datar, tanpa usaha menyamarkan nada analitisnya.
Saya menarik kursi tanpa ragu, duduk dengan posisi santai. “Maaf, menunggu lama.”
Dia melirik sekilas ke jam ponselnya sebelum mengangkat alis. “Dua menit lima puluh detik”
Saya menahan senyum. “Kamu selalu seakurat ini soal waktu?”
Dalya mengangkat bahu kemudian akhirnya menyentuh gelas es kopinya. “Kalau nggak, jadwal bisa berantakan,” ujarnya sambil menyeruput minumannya itu.
Saya menyandarkan punggung ke kursi, memperhatikan bagaimana dia menutup laptopnya dengan gerakan yang disengaja—tidak terburu-buru, tetapi juga tidak ragu. Seolah itu adalah caranya memberi ruang bagi percakapan ini walaupun saya yakin dia belum sepenuhnya memutuskan apakah percakapan kami ini layak diteruskan atau tidak.
“Jadi,” ujarnya sambil mengaduk kopinya pelan dengan sedotan, masih menimbang. “Kamu yang DM aku soal Manusia Carok kemarin?”
Langsung ke inti. Tidak ada basa-basi, tidak ada kalimat ‘senang bertemu’ yang meluncur dari bibirnya.
Saya mengangguk. “Saya baca novelnya dalam sehari.”
Ekspresinya tetap netral, tetapi terlihat bahunya sedikit mengendur. Perubahan kecil hampir tak terlihat. Namun, semua itu cukup untuk menunjukkan kalau dia mulai tertarik dengan pembicaraan kami.
“Terus setelah baca novel itu, kamu pikir aku butuh bantuan promosi?”
Saya merogoh ponsel dari saku, membuka Instagram, lalu memiringkan layar ke arahnya.
Layar menunjukkan unggahan Dalya di Instagram Story delapan belas jam lalu. Tulisan putih dengan latar belakang hitam sederhana—tanpa emotikon, tanpa filter berlebihan: Kenapa promosi lebih capek daripada nulis? Harusnya ada yang jual energi ekstra buat penulis baru yang butuh promosiin novelnya.
Saya tidak menambahkan apa pun, hanya membiarkannya membaca.
Dalya menatap layar itu lama, lalu mengangkat alis. “Oke. Kamu ngelihat ini, terus tiba-tiba kepikiran buat bantu?”
Saya mengangkat bahu. “Saya kerja di digital marketing. Kebetulan saya sering bantu beberapa klien ningkatin engagement. Memang baru kemarin saya follow kamu. Waktu kemarin saya lihat story kamu, saya iseng langsung cek Goodreads, Twitter, bahkan TikTok. Saya pikir kamu punya basis pembaca yang bagus, tapi engagement kamu belum dimaksimalkan.”
Dalya tidak langsung menjawab. Dia menggeser gelas kopinya sedikit ke kanan, gerakannya refleks, tatapannya turun ke meja sebelum kembali ke saya.
“Menarik,” katanya, satu kata, tetapi nadanya bukan pujian—lebih seperti seseorang yang sedang mencermati teka-teki.
“Tapi, sorry nih! Aku malah penasaran.” Dia menyandarkan punggung ke kursinya, tangannya terlipat di dada. “Kamu sering, ya, tiba-tiba bantu orang asing kayak gini?”