DALYA
AKU tidak ingat kapan tepatnya Ethan beralih dari sekadar ‘orang yang menawarkan bantuan promosi’ menjadi seseorang yang benar-benar nyambung diajak bicara.
Mungkin di pertemuan ketiga atau keempat mungkin kelima.
Yang jelas, ada sesuatu tentang Ethan yang membuat percakapan kami selalu berjalan tanpa hambatan. Seperti sekarang, misalnya.
“Kamu tahu, kan, manusia lebih suka makanan yang bentuknya nggak mengingatkan mereka sama asalnya?” kataku. “Makanya orang lebih suka makan nugget ayam daripada ayam utuh. Lebih suka sosis daripada daging mentah.”
Ethan menatapku seolah baru saja mendengar teori hidup yang mengubah perspektifnya. “Jadi, kalau misalnya kita makan kerang, itu termasuk yang mengingatkan bentuknya atau nggak?”
Saya berpikir sebentar lalu menyipitkan mata ke arahnya. “Tergantung. Kalau kerangnya masih lengkap sama cangkangnya, mungkin beberapa orang bakal ilfeel.”
Ethan terkekeh. “Tapi, kamu suka makan kerang?”
Kepala mengangguk. “Kerang asam manis. Favorit banget. Papa juga.”
Dia terlihat seperti sedang mencatat sesuatu di kepalanya. “Noted. Berarti kalau nanti saya beliin, mau yang matang atau mentah?”
Aku menatapnya curiga. “Mau nyogok aku pakai kerang?”
Ethan mengangkat bahu. “Lebih ke apresiasi atas kerja sama yang baik.”
Aku terkekeh. “Kalau untuk Papa, dia lebih suka masakanku sendiri.”
Ethan menyandarkan tubuh ke kursi, ekspresi wajahnya seolah menyusun sesuatu. “Jadi kamu bisa masak?”
Aku mendengus. “Tentu. Teknik Pangan, ingat? Aku bisa bikin makanan enak dan tahu komposisi kimianya.”
Ethan mengangguk, tampak terkesan. “Bagus. Setidaknya kalau kita terdampar di pulau terpencil, kita tahu siapa yang harus bertanggung jawab atas makanan.”
Mataku mendelik. “Terus kamu ngapain?”
Dia terkikik pelan sebelum menjawab. “Saya cuman nonton dan kasih komentar.”
Tawaku pecah. Entah kenapa, percakapan itu tetap berputar di kepalaku bahkan setelah kami berpisah malam itu.
***
Esoknya, aku baru saja selesai kuliah ketika sebuah mobil hitam berhenti di depan gedung kampus. Kaca jendela mobil Ethan diturunkan, terlihat lelaki itu sedang bertumpu santai di kemudi.
“Kita ada meeting lanjutan hari ini, kan?”
Alisku bertaut. “Meeting? Sejak kapan kita punya meeting resmi?”
Bahu Ethan terangkat. “Meeting informal tentang strategi promosi novel Manusia Carok. Atau kalau nggak tertarik, saya bisa pergi dan pura-pura nggak lihat kamu.”
Aku menyunggingkan senyum kemudian masuk ke dalam mobil. Begitu duduk, ponselku bergetar di tangan. Aku melirik ke layar ponsel. Sesuai dugaan, satu nama muncul di notifikasi WhatsApp.
Papa: Udah pulang? Naik apa? Share loc.
Aku mengetik cepat.
Aku: Udah dijemput temen.
Satu detik. Dua detik. Balasan masuk.
Papa: Siapa temannya? Papa kenal?
Aku: Papa belum kenal.
Papa: Hati-hati sama orang asing. Orang terdekat aja bisa berbahaya.
Aku mendengus pelan. “Cerewet!”
Ethan melirik sekilas. “Chat dari pacar?”
Tiba-tiba saja aku tersedak udara sendiri. “Hah?” Mataku langsung melotot. “Gila, ya? Itu Papaku.”