PADA saat kelas lima SD, gue adalah anak kecil yang kurang pergaulan. Badan gue kurus, kacamata gue ke dodoran, gue juga sering keluar rumah dengan kemeja rapi. Wujud gue seperti petugas sensus kontet. Mungkin garagara itu gak banyak yang mau temanan sama gue.
Karena jarang punya teman, setiap selesai sekolah gue pasti langsung pulang ke rumah, main video game sepanjang hari. Kalau udah begitu, waktu terasa cepat berlalu. Sekali duduk buat main satu game saja bisa nga bisin lebih dari enam jam. Aneh juga kalau di ingat ingat lagi, soal nya pada zaman itu belum ada game canggih kayak Call of Duty, mentok mentok juga Super Mario Bros. Tapi, memainkan tukang ledeng dari Italia itu udah cukup membuat gue happy.
Nyokap dan Bokap berulang kali mengingatkan gue untuk nggak seringsering main video game dan bemain yang beneran: bermain dengan manusiamanusia normal. Namun, seperti biasanya, gue cuman menjawab, ‘Temen ku jauhjauh rumahnya, Ma.’ Atau ‘Temenku gak ada yang seru, Ma.’
Saat itu, gue merasa tidak akan pernah menemukan teman bermain yang asyik. Teman bermain masa kecil yang akan gue ingat sampai tua nanti. Teman yang bisa membuat gue lupa untuk main game.
Sampai pada suatu sore.
Sore itu gue lagi bersiap main Sonic The Hedgehog di Sega Genesis kesayangan gue. Kasetnya rusak, jadi gue sibuk niupniupin bagian bawahnya. Buat yang hidup pada zaman itu, pasti ngerti, beginilah cara kami mem benarkan kaset rusak. Bukannya benar, tapi kayaknya kaset nya malah semakin rusak karena bercampur jigong gue. Gambarnya tidak kunjung muncul di televisi. Niat main game sore itu terancam gagal.
Saat itu pula, Bokap baru pulang kerja. Dengan kumis yang mulai layu karena bekerja seharian, dia nyamperin gue.
‘Lagi ngapain kau?’ tanya dia.
‘Ini, Pa, kasetnya rusak.’ Gue menunjuk ke arah kaset Sonic.
Bokap tersenyum lebar. ‘Bagus itu, itu pertanda kalau kau harus berhenti main game. Waktu Papa seumur kau, Papa enggak ada main game-game. Kau bisa jadi bodoh main game terus.’ | Koala Kumal
‘Masa, sih, Pa?’ tanya gue.
‘Ya, nanti kau jadi bodoh, gak bisa berhitung lagi.’
‘Masa?’
‘Ya, kemarin anaknya teman Papa main video game, sekarang dia jadi hilang ingatan, Dika. Dia gila.’
Oke, sampai sini gue tahu kalau Bokap udah mulai ngarang.
‘Abis gak tau lagi mesti main apa, Pa,’ kata gue.
Bokap berpikir sebentar, lalu seolah ide datang begitu saja dari udara, dia berseru mantap, ‘Kita main layangan!’
Ini pertama kalinya Bokap ngajak gue main layang an. Entah apa yang ada di pikirannya, tetapi dia terlihat begitu antusias. Dia menyuruh asisten rumah tangga beli satu layangan. Setengah jam kemudian dia sudah sibuk meng gulung benang di ruang tamu.
Setelah layangan siap, Bokap lari ke luar rumah. Sewaktu gue baru mau menyusulnya, Nyokap tiba tiba keluar dari kamarnya. Dia nanya, ‘Dika, kamu mau main layangan?’
‘Iya. Kenapa emang, Ma?’ tanya gue.
‘Udah pake sunblock belom?’ tanya Nyokap.
Gue menggelengkan kepala. ‘Ma, mana ada anak cowok main layangan pake sunblock? Cemen banget!’
‘Duh, Dika, nanti kalo kulit kamu gosong, kamu jadi item, loh.’
Belum sempat gue ngomong apaapa lagi, Nyokap sudah sibuk melumuri badan gue dengan sunblock. Tangan, leher, dan kaki gue terlihat mengilat dan lengket. Gue kayak orang yang habis diludahi beramai-ramai.
Gue keluar rumah dan langsung mengadu kepada Bokap. Gue bilang, ‘Pa, masa main layangan doang kata Mama harus pake sunblock?’
‘Ya, ampun!’ Bokap menepuk jidatnya. ‘Papa belom pake!’
Bokap lari masuk ke rumah. Lima menit kemudian dia keluar dari rumah. Maka, di sinilah kami sekarang, bapak dan anak dengan badan mengilapngilap berdiri di tengah jalanan kompleks.
Gue melihat ke jalanan kompleks, lalu bilang ke Bokap, ‘Pa, bukannya nerbangin layangan harus di tanah lapang, ya?’
‘Ah, kau ini. Nerbangin layangan hanya butuh dua: angin dan keahlian. Kayak Bapakmu ini,’ jawab Bokap sambil menunjuk ke dadanya. Kumis tebalnya melambai per lahan ditiup angin.
Bokap menjulurkan tangannya ke udara, mencoba menebak arah angin. Ia manggutmanggut sendiri, lalu bilang, ‘Nah. Kamu berdiri di situ.’ Dia menunjuk beberapa meter ke sebelah kiri. Gue menaikkan tangan, memegangi layangan itu tinggi-tinggi. Dengan berkalikali menarik, layangan pun terbang tinggi ke langit biru.
Belum sampai sepuluh menit, Bokap menyadari ada layangan lain berwarna hijau di udara. Bokap menunjuk nya, lalu berkata kepada gue dengan muka mantap. ‘Dika, nih, Papa kasih lihat bagaimana caranya layangan berantem!’
‘Berantem gimana, Pa?’
‘Iya, adu layangan. Lihat Papa, nih.’
Bokap mengulur benang sehingga layangannya pun menukik tajam, berada di bawah layangan warna hijau.
Layangan Bokap sedikit berputar, lalu tibatiba Bokap menariknarik benang secara cepat, benang layangan gue mengait benang layangan warna hijau. Bokap mengulang-ulang gerakan barusan, benang kedua layangan terus menerus bergesekan, lalu... layangan hijau pun putus.
‘Mati kau!’ teriak Bokap yang diikuti dengan tawa kencangnya.
‘Pa, itu... layangan orang... diputusin?’ tanya gue. Layangan hijau yang putus itu melayang lemah tanpa arah, seperti abege yang gagal move on.
‘Iya, sudah mati dia punya layangan. Coba kau kejar layangan putus itu,’ kata Bokap. ‘Di kampung biasanya aku bawa pulang ke rumah. Koleksi.’
Gue mengambil sepeda, menuju ke tempat layangan putus tersebut kirakira jatuh. Gue melewati beberapa gang di sebelah rumah sampai akhirnya tiba di mulut gang Jalan Ciawi VI. Di depan gang, gue melihat ada dua anak berlari sambil memegang segelas benang yang dililit rapi. Umur mereka sepertinya nggak beda jauh sama gue. Gue menghentikan sepeda tepat di depan mereka. Kami ber tiga lihatlihatan.
‘Lo yang mutusin layangan gue?’ tanya salah satu dari mereka yang bertubuh lebih kurus daripada temannya.
‘Iya,’ aku gue. Gue takut dipukulin. Saat itu gue gak les bela diri, cuman les main gitar. Kalau pun diajak berantem, hal yang bisa gue lakuin paling cuma menggenjreng muka mereka sambil bernyanyi lagulagu Kahitna.
Sebelum mereka sempat ngomong apaapa lagi, gue bilang, ‘Maaf, ya. Gue traktir makan bakso, yuk?’
***
SEMENJAK kejadian layanglayang putus itu, gue jadi berteman baik dengan dua orang tadi: Bahri dan Dodo. Bahri lebih hitam dan kurus daripada Dodo. Rambut Bahri belah tengah rapi, yang dia sisir dengan begitu hati hati hingga terlihat satu garis sempurna membelah kepala nya jadi dua. Warna rambutnya sama kayak Dodo, agak sedikit kemerahan karena sering main di luar rumah, kena sinar matahari. Dia sering memakai polo shirt lusuh kesukaannya yang berwarna merah.
Rambut Dodo cepak seperti tentara. Dia lebih senang memakai kaus kebesaran, hasil hibah kakaknya. Gigi depan nya sedikit tonggos, jaraknya jarangjarang. Kalau Dodo ngomong, gue kayak ngelihat pintu gerbang kecil menuju tenggoroknya.
Setiap kami jalan bertiga berdampingan, kami terli hat seperti boyband kekurangan gizi.
Setiap sore mereka datang ke rumah gue, ngajak main di sekitar kompleks. Mereka punya cara tersen diri untuk memanggil gue keluar rumah. Mereka akan menge luar kan siulan dengan cara mengatupkan kedua telapak tangan lalu meniup bolongan di antara dua jem pol. Bunyi nya tut tut tuit... tititiut... tuit tiut, seperti nya nyian burung kutilang pada musim semi. Gue sen diri pernah mencoba untuk menge luarkan siulan dengan cara se perti itu, tetapi jadinya malah fals, seperti nyanyian burung kutilang menjelang ajal.
Permainan yang paling sering gue, Bahri, dan Dodo lakukan adalah main “berantemberanteman”. Sehabis menonton Ksatria Baja Hitam , kami akan berpurapura jadi Kotaro Minami. Sehabis nonton Ultraman , kami berpura pura jadi Ultraman. Seringkali, dalam permainan seperti ini, Dodo yang jadi monster. Ketika Dodo ber tanya kenapa dia melulu yang jadi monster, Bahri men jawab santai, ‘Abis muka lu udah nyeremin. Lihat gigi lu.’ Emang benar, muka Dodo menyeramkan.
Cara kami bermain sederhana saja: gue dan Bahri ber gumul melawan Dodo. Kadang sampai gulat di rum put. Dulu kami merasa permainan kami ini keren banget. Tapi sekarang, kalau dipikirpikir, tiga cowok SD setengah telanjang bergumul di rumput soresore sambil tertawatawa... kok, berasa geli banget, ya?
‘Kita main Power Rangers aja, deh,’ kata Dodo, di salah satu sesi main berantemberanteman.
‘Yuk,’ kata gue.
‘Gue Ranger Merah,’ kata Bahri.
‘Enggak. Gue Ranger Merah. Sekalikali gue pengin jadi jagoan,’ kata Dodo, gak mau kalah.
‘Yeee. Gue yang Ranger Merah.’ Bahri menunjuk ke dadanya. ‘Lo Ranger Putih aja. Samasama jagoan, kok. Ranger Putih di TV, kan, gondrong dan keren.’
Dodo protes, ‘Tapi, kata emak gue kalo pake baju putih gampang kelihatan kotor. Nanti kalo berantem, bajunya kotor gimana?’
Bahri mulai sewot. ‘Dih, menurut lo Power Rangers kalo berantem mikirin bajunya bakal kotor apa enggak?! Bumi diserang monster! Lo tau gak, kalo monster me nguasai dunia, baju lo gak bakal ada yang bisa nyuci. Karena emak lo udah dimakan!’
‘Oke! Oke! Kita boleh berhenti ngomongin bajunya Power Rangers gak?’ tanya gue, kesel ngelihat mereka berantem untuk alasan yang tidak jelas.
Selain main perangperangan, kami juga suka ber jemur di atas mobil tua warna merah yang sering di parkir pemiliknya di pinggir sungai samping kompleks. Formasinya selalu sama: Bahri dan gue tiduran di atap mobil Sedangkan Dodo, seperti biasa, agak terbuang, di atas bagasi.
Kadang kami tiduran selama setengah jam. Kadang, kalau cuaca lagi sangat terik, bisa sampai dua jam. Bahri biasanya yang tidur paling nyenyak. Gue tiduran sambil baca komik. Sementara Dodo lebih suka bengong, nge lihat daundaun goyang ditiup angin.
Kalau cuacanya lagi sejuk dan tidak terlalu terik, kami biasanya samasama menatap ke arah matahari, me man dangi langit sambil tiduran. Kalau sudah begini, Bahri menaruh kedua tangannya di belakang kepala, sambil tiduran dia berkata, ‘Rasanya kayak di Miami, ya?’
‘Iya,’ jawab gue.
‘Iya,’ kata Dodo.
Kami bertiga gak ada yang pernah ke Miami.
***
KELUARGA gue senang melihat gue bermain dengan Bahri dan Dodo. Mereka lega melihat gue sekarang jadi jarang main game dan benaran meluangkan waktu dengan manusia lain. Nyokap terutama sangat bersemangat ketika Bahri dan Dodo berencana nginep di rumah gue.
‘Beneran mereka bakal nginep sini, Dik?’ tanya Nyokap.
‘Iya, bener, Ma.’
Nyokap ingin membuat kesan yang baik terhadap temanteman gue ini. Dia pergi ke supermarket membeli ca milan, lalu menyuruh asisten rumah tangga merapikan seluruh rumah. Katanya kepada si Mbak, ‘Pastikan gak ada yang kotor, ya.’
‘Gak usah repotrepot, Ma,’ kata gue.
Nyokap menatap mata gue. ‘Kamu, kan, jarang ba nget punya teman. Apalagi sampe nginep segala. Rumah harus benerbener sempurna, Dika.’
Sorot mata Nyokap berapiapi.
Acara menginap bareng dimulai dengan menyantap masakan buatan Nyokap. Sesudah kekenyangan, kami main game Mortal Kombat di ruang tamu. Baru setelah itu kami pergi ke kamar gue di lantai dua, tidur-tiduran sambil baca komik.
Hampir setiap sepuluh menit Nyokap mengetuk pin tu kamar, mengintip sedikit, lalu bertanya, ‘Kalian mau makan apa lagi?’
‘Kayaknya kita semua udah kenyang, deh, Ma.’ Gue menunjuk piza, minuman bersoda, keripik, dan berbagai macam kudapan lainnya di dalam kamar.
‘Hmmmm.’ Nyokap memandang ke langitlangit rumah, berpikir keras. ‘Es krim kali, ya? Belum ada kan?’
Setengah jam kemudian, Nyokap mengetuk pintu kamar kembali.
‘Es krimnya datang!’ seru Nyokap sambil memegang nampan berisi es krim superbesar.
‘Udah, udah kenyang, Tante,’ kata Dodo, memegangi perutnya.
‘Sudah. Makan, makan yang banyak,’ kata Nyokap.