SALAH satu tugas terberat cowok adalah menjelaskan peraturan sepak bola kepada cewek. Itu yang gue rasakan saat nonton bola dengan Kirana, gebetan gue, seorang pengacara lulusan Universitas Indonesia. Waktu itu sedang ada pertandingan Piala Dunia 2010, dan kami nonton bersama temanteman lainnya di Pondok Indah Mall. Sepanjang nonton kami teriakteriak gak keruan, tetapi Kirana diam saja. Sampai akhirnya dia nanya ke gue, ‘Itu kalau offside artinya apa?’
‘Itu kalau pemain depan kita ada di depan pemain belakang terakhir lawan ketika teman kita ngoper bola,’ jelas gue.
‘Oh, gitu,’ katanya. Dia diam sebentar, mencoba mencerna kalimat yang gue katakan. Dia lalu bertanya kem bali, ‘Gimana, gimana?’
‘Pokoknya gitu, deh,’ kata gue, bingung cara men jelaskannya lagi.
Beberapa menit kemudian, Kirana kembali bertanya, ‘Kalau kartu kuning artinya apa?’
‘Oh, kalau itu artinya pelanggaran.’
‘Jadi kalau pelanggaran, wasitnya ngasih kartu kuning ke pemainnya?’ tanya dia.
Gue mengangguk.
Kirana berpikir sebentar, lalu melanjutkan bertanya, ‘Kok, kartunya gak abis kalau dikasihkasih gitu?’
Gue yang mulai stres, menjawab, ‘Kartunya gak be neran dikasih, tapi dikasih lihat doang. Abis itu di kantong in lagi.’
Kirana masih bingung, tetapi dia tidak melanjutkan. Spanyol menyerang, dan salah satu pemain terkena offside. Gue bilang ke dia, ‘Nah, offside itu kayak yang barusan.’
‘Oh, ngerti sekarang,’ kata dia. Lalu dia melanjutkan, ‘Sekarang skornya berapa?’
Gue menepuk jidat. Ujungnya, gue sama Kirana gak jadian, bukan karena bola, tetapi dia harus kuliah lagi keluar negeri.
Setelah itu, sebagaimana lazimnya cowok jomblo, gue bertemu dan berkenalan kembali dengan cewek-cewek lain. Seperti cewek kebanyakan, yang gue kenal ini juga gak ada yang ngerti sepak bola. Ada satu orang yang bah kan gak ngerti olahraga apa pun pada umumnya. Dia malah bertanya balik ke gue, ‘Gue heran, deh. Kenapa, sih, cowok suka banget nonton bola?’ Gue cuman bisa jawab, ‘Ya, emang gitu aja. Sama aja kayak gue heran, deh, ke napa cewek kalau ke kamar mandi selalu minta ditemenin sama temen ceweknya?’
‘Ya, emang gitu aja,’ kata gebetan gue itu.
‘Nah,’ kata gue. Lalu kami samasama setuju bahwa cowok sama cewek, ya, memang dua makhluk yang ber beda. Dalam hati gue juga yakin, mungkin gue tidak akan pernah bisa dekat sama cewek tomboi.
Sampai suatu hari gue bertemu dengan cewek ber nama Deska.
***
GUE dikenalkan kepada Deska oleh teman SMA gue yang yakin banget kami bakalan cocok. Seperti lazimnya usaha perjodohan, waktu pertemuan pun tiba. Bahasa keren nya: kencan buta. Gue datang ke Monolog Plaza Senayan, lima menit lebih awal dari waktu janjian. Gue cuman tahu dari fotonya aja, orangnya cantik, rambutnya ikal, alis nya tipis, dan rahang pipinya tirus.
Deska datang. Wajahnya tidak terlalu jauh dari foto yang dikirimkan oleh teman gue. Dia menyalami tangan gue sambil bilang, ‘Deska.’
Gue menyalami dia balik. ‘Raditya.’
‘Iya, gue tahu, kok. Gue, kan, follow Twitter lo,’ kata dia. Dia lalu memandangi gue dari atas sampai bawah. ‘Ternyata lo lebih pendek dari yang gue kira.’
‘Semua orang pasti bilang gitu,’ kata gue. Dalam hati gue berkata, baru ketemu aja gue udah dihina. Dia lalu duduk di depan gue, dengan senyum simpul yang manis.
Dari obrolannya saja, gue udah tahu bahwa Deska ini adalah cewek yang berbeda. Pertamatama, dia suka nonton bola. Klub favoritnya adalah Arsenal. Dia mema merkan wallpaper BlackBerry-nya yang berlogokan Arsenal.
‘Gue suka banget sama Arsenal dari dulu. Kemarin itu tayangannya gak ditayangin di TV lokal, kan, gue ter paksa ikutin update di internet. Gue baca live update di internet, cuman sebarissebaris gitu. Eh, Arsenal kalah!’
‘Oh, gitu,’ kata gue.
‘Gue ngamuk, gue pukul aja meja di kamar sampai rusak,’ kata dia, lalu tertawa. Entah kenapa pengakuan nya tersebut membuat gue tertarik sama Deska. Mungkin karena perpaduan yang unik antara cewek cantik suka bola dan cewek cantik suka ngamuk.
Setelah dua jam ngobrol dan ketawa-ketiwi berdua, Deska lalu melihat jamnya, ‘Lo harus ke mana lagi?’
‘Gue hari ini free, sih,’ kata gue. ‘Lagi gak ada kerjaan apa-apa.’
Deska manyun, lalu mengernyitkan alisnya.‘Jam ma kan siang kantor gue udah abis, tapi gue lagi males kerja....’
‘Terus? Lo mau ke mana?’
‘Lihatlihat buku baru, yuk, di Kinokuniya. Sekalian mau beliin adek gue buku. Bentar lagi dia ulang tahun.’
‘Boleh.’ Gue meminta bill kepada pelayan.
Seolah gak mau buruburu pisah, setelah jalan-jalan melihat buku baru, kami lalu nongkrong lagi di kafe lantai dasar, minum kopi lagi. Dua gelas kopi dalam waktu dua jam membuat mata gue lebih melotot dari biasanya. Untungnya, Deska tidak memperhatikan ini dan me nyangka gue sedang bermasalah dengan otot mata gue.
Setelah ngopi, kami pergi ke toko pakaian. Gue mem beli sepatu baru, lalu lanjut jalanjalan lagi, tahutahu kami berakhir di makan malam. Setelah semuanya selesai, dia bilang, ‘Udah pukul delapan malem aja. Gak kera sa nongkrong sama lo. Gue harus pulang, nih. Temenin nyari taksi yuk.’
‘Gue anterin pulang aja, gak papa,’ kata gue, biar dibilang gentleman.
Obrolan di dalam mobil semakin memperkuat pen dapat gue kalau dia memang benar cewek tomboi yang ekstrem. Dia gak suka banget sama ladies parking di mall, yang menyediakan tempat parkir khusus perempuan di tempat yang dekat dengan pintu masuk. Menurut Deska, ladies parking adalah ‘salah satu contoh bahwa cewek masih dianggap lemah’. Padahal, gue sendiri malah pengin gondrong supaya bisa dikira cewek dan masuk ladies parking.
Sekitar pukul sembilan malam, kami tiba di rumahnya di daerah Ciputat. Memang jauh, sih, dari rumah gue di Jagakarsa, Jakarta Selatan, tetapi, demi kemungkinan pacaran di masa depan, gue mengantarkan dia dengan ikhlas. Gue turun dari mobil. Dia bertanya, ‘Mau masuk rumah dulu gak? Minum, mungkin?’
‘Pas! Haus banget,’ kata gue, padahal gak haushaus amat.
Ketika kami melewati garasi, gue melihat ada sebilah kayu panjang dengan pisau di ujungnya. Penasaran, gue bertanya kepada Deska, ‘Itu... tombak?’
‘Oh, ini.’ Deska berjalan ke arah tombak yang gue tunjuk, dia mengambilnya. ‘Iya, gue belajar main tom bak garagara lagi suka main game Dinasty Warriors di Playsta tion 2. Ada karakter namanya Lu Bu. Penjahat gitu. Gue nge-fans banget sama dia.’
‘Uh, biasanya cewek seumuran lo nge-fans-nya sama boyband yang ganteng-ganteng gitu. Bukan penjahat dari game berantemberanteman,’ kata gue.
‘Hahaha lo gak pernah main game-nya, sih. Si Lu Bu ini jago main tombak. Gue beli ini, deh.’ Deska sekarang menggenggam tombak di tangan kanannya.
‘Oh gitu.’
Ada beberapa detik terlewat, lalu Deska bertanya, ‘Mau lihat gue main gak?
‘Main?’
‘Iya, main tombak.’
‘Uh, boboleh.’ Gue gak tahu harus menjawab apa lagi.
Deska memutarmutar tombaknya di atas kepalanya. Dia lalu menarik tangannya ke belakang. Lalu dengan satu kali putaran pinggul, dia menusukkan tombak tersebut ke arah samping badan gue, sambil berteriak, ‘HIAAAAAT!’
Anginnya sampai terasa di sisi lengan gue.
‘Itu, buat cowokcowok yang doyan selingkuh,’ kata Deska. Raut mukanya keras. Gue menelan ludah.
Dia lalu memutar tombaknya kembali. Masih sambil memutar tombaknya, dia berkata, ‘Kalau yang ini buat cowok-cowok yang deketin cewek tapi gak ada niat buat jadian.’ Dia lalu menghunuskan tombaknya ke udara, sambil teriak, ‘HIAAAAAT!’
Gue kembali menelan ludah. Napas gue memburu kencang. Berbagai macam pertanyaan muncul di kepala: apa kah ada pesan tersirat di situ? Apakah Deska merasa gue lagi mencoba deketin dia? Apakah gue akan segera di tombak?
Hening.
‘Gue kayaknya butuh minum, deh,’ kata gue, men coba membuat kami segera masuk ke rumah. Sekali lagi dia menusukkan tombaknya di depan muka gue, mung kin gue akan mimisan.
‘Oh, iya. Yuk, masuk.’ Deska menaruh tombaknya.
Gue hanya menghabiskan waktu setengah jam di rumah Deska. Lalu, di perjalanan pulang gue mencoba menimbangnimbang apa yang terjadi. Di satu sisi, gue senang bisa kenal dengan cewek tomboi yang begitu ber beda dengan cewek lain yang gue temui selama ini. Di sisi lain, gue ngerasa minder. Gue merasa Deska lebih laki-laki dibandingkan gue sendiri.
Tapi, satu hal yang gue tahu: gue tertarik sama Deska. Cinta? Belum tentu. Naksir? Mungkin. Tertarik? Jelas. Maka gue membuka Google dan menulis ‘Cara PDKT dengan cewek tomboi’. Gue membuka website demi website, saran yang muncul ada yang masuk akal, seperti: ‘ Katakan dia cantik setiap hari’, sampai yang aneh banget, seperti: ‘Hindari berkelahi dengannya, jika kalah Anda akan malu.’ Salah satu saran yang kena banget di pikiran gue dan mungkin untuk gue lakukan adalah: ‘Ikut gym dan buatlah diri Anda terlihat lebih gagah darinya.’
Terus terang, saat ini gue sudah lama pengin ikut gym karena jarang olahraga. Tanpa pikir panjang, ke esokan harinya gue pun daftar gym di dekat rumah. Ya, orang yang lagi kasmaran memang cenderung melakukan hal di luar kebiasaannya, demi cinta yang dia kejar.
***
GUE duduk di sofa dekat resepsionis gym, mengisi lembaran aplikasi. Sesekali melihat ke arah orangorang yang datang dan pergi di gym ini. Ada ibuibu yang nge-gym memakai make up, ada bapakbapak gendut, tapi paling banyak justru cowok muda berbadan bagus. Perut mereka six pack, beda dengan perut gue yang hanya one pack, itu pun menjorok ke depan.
Sebenarnya gue gak pernah suka ke gym. Di gym terlalu banyak cowok narsis. Cowok-cowok ini biasanya berbadan kekar, sambil mengangkat barbel ngelihat ke kaca, berkata ke dirinya sendiri, ‘Mmmh.... Kamu gan teng. Mmmmh. Iya, kamu ganteng....’ Melihat mereka, gue hanya bisa menggumam, ‘Benar, sih, kamu ganteng.’
Selesai memberikan formulir, gue meminta dipandu oleh seorang personal trainer, yaitu orang yang akan me latih gue ngegym, yang akan bikin gue macho, yang akan bikin gue kekar, yang akan bikin gue tidak sedih lagi ke tika gue ngaca sambil telanjang dada.
Personal trainer gue adalah seorang cowok berumur 30an, berbadan gede banget dengan jambang yang ber lebihan. Dia memperkenalkan dirinya, ‘Halo, saya Alex.’