Koala Kumal

Gagas Media
Chapter #4

KUCING STORY

SEMUA orang tahu pertemuan dengan mantan pacar sangat berpotensi menghasilkan galau. Tapi tidak untuk gue dengan Avi. Kami berdua tahu masing­masing dari kami telah move on dari satu sama lain. Kami berdua tahu, sesuatu yang tidak berhasil, tidak baik dipaksakan.

Maka, di sini kami sekarang, duduk berhadapan di sebuah kafe. Ini adalah perjumpaan kami setelah be be­ rapa tahun tidak bertemu. Cerita pun terus bergulir, saling update cerita hidup masing­-masing. Setelah mencerita­ kan kabar adiknya yang sekarang mulai pacaran, Avi menyeruput thai iced tea di atas mejanya, lalu dia mema­ sang muka serius. ‘Oh! Ada yang harus aku kasih tahu!’

‘Apa?’ tanya gue.

‘Chica udah punya anak.’

Gue mendelik. ‘Hah? Chica? Akhirnya dia mau kawin?’

Chica adalah anjing Shitzu betina yang gue belikan untuk Avi ketika kami masih pacaran. Umurnya masih enam bulan waktu gue bawa ke rumah Avi. Gue samar­ samar masih ingat penampakannya: badan kecil, muka ketutupan poni, setiap kali dia jalan kelihatan kayak keset hidup. Sempat beberapa kali gue ngelihat Chica tiduran di lantai dan berpikir kalo kaki gue dipeperin di situ pasti geli­ geli enak gitu, deh. Pikiran yang untungnya tidak sempat gue jadikan kenyataan.

Salah satu jadwal rutin gue dan Avi dulu adalah ngajak Chica jalan­jalan ke taman kompleks rumahnya di Bona Indah, Fatmawati. Gue memegang talinya, semen tara Avi lari sore mengelilingi taman. Kami bertiga sangat dekat waktu itu, sampai­-sampai ketika kami putus dulu, kalimat pertama yang keluar dari mulut Avi adalah, ‘ Berarti, Chica bakal jadi anak yatim, dong?’

‘Iya, Dik. Chica akhirnya mau kawin juga.’ Avi me­ lanjutkan pembicaraannya. ‘Waktu itu emang aku sempat jodohin sama anjingnya temanku.... Eh, Chicha gak mau. Aku kira dia lesbi. Gak taunya dia malah kawin sama anjing dachsund yang baru dibawa Papaku.’

‘Dachsund? Anjing jenis pendek, panjang yang kayak sosis itu?’

‘Ho oh.’

‘Anjing kayak sosis item itu kawin sama Chica yang bulunya banyak. Anaknya kayak sosis buluan, dong?’ tanya gue, membayangkannya aja udah bikin gue eneg duluan.

‘Yeeee... gak gitu juga. Anak mereka jadinya cakep, kok. Aku namain Omlo. Chica hampir mati pas ngelahir­in Omlo. Dia sampai operasi caesar segala. Heboh, deh, pokoknya.’

Avi lalu bercerita tentang Chica, dia bilang ngurusin anjing hamil itu persis deg­degannya kayak ngurusin manusia. Sewaktu baru ketahuan hamil, Avi langsung membawa Chica pergi kontrol ke Rumah Sakit Ragunan. Ketika itu, dokternya bilang semuanya bakal baik-­baik saja. ‘Yang penting makan terus aja,’ kata dokter.

Kekhawatiran baru muncul beberapa bulan kemu­dian, ketika di rumah Chica tiba­tiba gak bisa gerak. Kakinya mengejang, matanya melotot, lalu lidahnya menjulur-­julur. Chica langsung dibawa ke rumah sakit hewan malam itu juga.

Sesampainya di sana, ternyata kondisi Chica udah cukup parah. Seorang dokter hewan yang jaga malam itu langsung membawa dia ke ruangan khusus. Satu keluar­ga Avi menunggu di luar sambil berpegangan tangan. Suasana dramatis.

Persis adegan di sebuah sinetron, seorang dokter keluar dari ruang emergency dan berkata di tengah ruang tunggu, ‘Ada keluarga Chica di sini?’

Bapaknya Avi berdiri dan berkata, ‘Saya. Saya dari keluarga Chica.’

‘Pak,’ kata si Dokter, sorot matanya tegas. ‘Chica harus segera diberikan tindakan.’

‘Tindakan?’ tanya bapaknya Avi sambil menahan suaranya agar tak gemetar. Semakin lama semakin mirip dengan adegan sinetron.

‘Iya, operasi. Anak yang dikandung Chica terlalu besar untuk bisa dilahirkan secara normal. Kita harus la kukan operasi caesar darurat. Hidupnya ada di detik­ detik yang menentukan ini.’

‘Baik. Lakukan apa yang Dokter bisa lakukan.’ Bapak Avi menarik napas dalam­dalam, lalu memandang mata si Dokter. ‘Yang penting Chica selamat, Dok.’

Dokter masuk kembali ke ruang operasi. Perut Chica dicukur, dilumuri antiseptic, lalu pembedahan dilakukan. Anaknya langsung dikeluarkan. Ada dua anak Chica yang dikeluarkan, namun sayang satu ekor anaknya tidak berhasil diselamatkan.

‘Abis itu Chica dirawat beberapa hari. Untung dia udah sama kita lagi sekarang. Gitu ceritanya, Dik,’ kata Avi, menutup cerita.

‘Gila. Kayak di film-film Korea, ya. Dramatis banget.’

‘Makanya. Kamu harus ada di sana sendiri buat nge rasain apa yang aku sama keluargaku rasain. Kami pelukan sambil nangis terharu waktu tahu Chica dan satu anaknya selamat.’ Avi melihat jamnya. Dia lalu mem­ beri gerakan “bayar bill-nya” dengan tangannya kepada pelayan yang berdiri jauh di depan kasir. Pelayan tersebut mengangguk, dan mengetik sesuatu pada cash regis­ter. Sambil menunggu bill, Avi bertanya, ‘Kamu sekarang melihara apa?’

‘Gak melihara apa­apa.’

‘Kamu bukannya tinggal di rumah sendiri sekarang? Masa gak ada peliharaan?’

‘Emang kenapa kalo tinggal sendiri?’

‘Di rumah cuma sama pembantu, kan? Gak kesepian?’

‘Aku gak pernah mikirin soal kesepian, sih.’

Avi mengangkat bahunya. ‘Ya, siapa tahu aja, sih. Aku sih, walaupun di rumahku rame ada adek, Papa, Mama... tetep aja kalo gak ada Chica rasanya kesepian banget.’

Gue baru mau melanjutkan obrolan, namun seorang pelayan keburu datang dan meletakkan bill di atas meja.

***

OBROLAN gue dengan Avi tentang kesepian dan bina­tang peliharaan meninggalkan bekas yang dalam. Semen­jak itu, kalau lagi nonton TV, gue jadi ngerasa kesepian. Kalau gue lagi mau tidur, gue juga ngerasa kesepian. Gue sempat curhat ke asisten rumah tangga gue dengan bilang, ‘Mbak, gak enak juga, ya, tinggal sendirian gini. Ngerasanya kesepian terus.’

Si Mbak berpikir, dia bilang, ‘Hmmm, mungkin Abang butuh....’

‘Peliharaan?’ tanya gue, memotong.

‘Mbak mau bilang istri, sih. Tapi peliharaan juga boleh,’ katanya, kalem. ‘Kalau mau beli peliharaan mau hewan apa, Bang?’

‘Pengin pelihara anjing, sih,’ jawab gue.

Binatang peliharaan yang pertama muncul di kepala gue memang anjing. Pertama­-tama, anjing adalah hewan peliharaan paling populer di dunia. Kedua, gue pernah ngasih Chica ke Avi, jadi gue bisa nanya­-nanya soal me­lihara anjing ke dia. Tapi anjing apa yang mau gue pe­lihara? Kebanyakan cowok suka anjing sangar, kayak Herder, Bulldog, atau Pitbull. Gue gak mungkin melihara anjing­anjing seperti itu, masa peliharaannya lebih macho dari majikannya?

‘Jangan melihara anjing, Bang,’ kata pembantu gue.

‘Kenapa, Mbak?’

‘Nih, ya, Mbak kasih tahu. Kalau kita melihara anjing, malaikat gak bisa masuk ke rumah. Nanti Mbak gak bisa masuk rumah, dong!’ kata si Mbak sambil mesem­mesem, geli sama lawakannya sendiri. Gue dilema di antara harus ketawa atau mulai membuka lowongan untuk asisten rumah tangga baru.

Di sisi lain, memang agak repot melihara anjing di kompleks rumah gue. Rumah gue ada di sebuah cluster townhouse yang jarak antar­rumahnya sangat berdekatan. Punya anjing, apalagi yang senang menggonggong pasti bisa ngebuat tetangga gue marah­marah. Ditambah lagi, anjing butuh waktu untuk diajak jalan­jalan. Mengingat kondisi gue yang sering banget ke luar kota, gue kasihan sama anjingnya. Nanti dia sendirian. Kesepian.

Jadi, anjing dicoret dari daftar binatang untuk gue pelihara.

Gue kembali mencari­cari hewan lain.

Kalau gue mau beda dari orang kebanyakan, mung­ kin gue akan memilih binatang yang tidak lazim. Seperti kadal Papua berwarna hitam yang sempat gue lihat di se­ buah toko online. Atau sugar glider, sejenis tupai terbang, yang belakangan ini juga ramai dibicarakan oleh orang banyak.

Gue hampir aja beli sugar glider, sampai gue mene­ mukan video tentangnya di Youtube. Di video itu, ada perempuan sedang menjelaskan cara­cara merawat sugar glider. Sugar glider­nya sendiri terlihat unyu de ngan mata yang bulat dan selaput ketek mengembang. Gue terus­ terusan berkata ‘awwww’ dalam hati, sampai akhir­nya... si sugar glider pipis di lengan si perempuan.

‘Ups, dia pipis di tangan saya,’ kata perempuan ter­ sebut dalam bahasa Inggris dengan nada ceria. Dia meng­ ambil tissue lalu menyeka bagian yang dipipisin sugar glider: jejak air kencing yang mengulir di sepanjang lengannya. Dia lanjut berkata enteng, ‘Jika Anda ingin memelihara sugar glider, Anda harus terbiasa dengan hal seperti ini! Hahaha!’

Kalimat itu melenyapkan keinginan gue untuk me­melihara sugar glider. Gue ingin jadi majikan, bukan toilet hidup. Gue juga gak mau kalau gue memamerkan sugar glider peliharaan gue ke teman­teman yang lagi main ke rumah, lalu binatang tersebut nyemprotin pipisnya ke mana­mana. Gue butuh binatang yang lebih sopan.

Nah, binatang apa yang bisa lebih sopan dari kucing?

Kucing bisa ditinggal sendirian di rumah. Mereka tidak terlalu banyak minta perhatian. Mereka bersih dan sangat gampang melatihnya buang air besar: cukup kasih tahu di mana toilet pasirnya, mereka pasti sudah bisa langsung buang air sendiri.

Gue juga pernah punya pengalaman melihara kucing. Alfa, kucing Persia yang sampai saat ini masih tinggal satu rumah bersama keluarga besar gue. Juga kucing­-kucing lain seperti Kara, seekor kucing Himalayan, dan Lava, kucing Maine Coon. Jadi, memelihara kucing terde­ngar seperti pilihan yang pas.

***

HAMPIR semua orang bilang jangan membeli kucing di pet shop karena biasanya kondisi kucing mengkhawatir­ kan. Kebanyakan kucing di pet shop membawa penyakit turunan akibat tidak pernah dites kesehatan sebelumnya. Memang ada, sih, pet shop yang baik, tetapi jumlahnya sangat sedikit.

Temannya Yudita, adik gue, pernah beli kucing sem­ barangan dari pet shop. Ketika kucingnya sudah tua, ia kena penyakit ginjal. Yudita bilang waktu itu, dengan muka khawatir, ‘Kucingnya si Ina gagal ginjal, Bang.’

‘Gagal ginjal gimana?’

‘Gak tahu, kucingnya lemas, jadi kurus, pas diperiksa ternyata dia gagal ginjal. Sekarang dia harus cuci darah tiap minggu.’

‘Ya, ampun, kasihan.’

Yudita menambahkan, ‘Sekarang, sih, lagi mau nyari ginjal buat ditransplantasi, Bang.’

‘Buset. Ini kucing apa orang, sih?’ tanya gue.

Ada cerita lain tentang kucing Maine Coon teman gue yang sakit jantung. Dia beli kucing ini dari pet shop. Selama beberapa tahun si maine coon hidup baik­baik saja. Sampai akhirnya suatu sore, ketika si maine coon lagi asyik­asyik lompat, dia kena serangan jantung. Teman gue ber kata lemas, ‘Dia meninggal sebelum sempat di­ kasih peng obatan. Padahal bantuan sudah di jalan.’

‘Udah coba kasih napas buatan?’

‘Gue udah sempet coba. Tapi gak berhasil. Mulutnya terlalu lebar buat mulut manusia.’

‘Oh,’ kata gue, sambil berkhayal apa rasanya ciuman sama kucing. Kumisnya pasti bikin mulut jadi gatal.

Jadi, cara terbaik untuk memelihara kucing adalah: 1) adopsi kucing dari penampungan, atau 2) membeli ku­ cing di breeder atau peternaknya. Gue ingin punya kucing ras, maka gue beli di breeder. Satu per satu peternakan kucing di Indonesia gue pelajari, sampai akhirnya gue ke peternakan kucing terbesar di Indonesia. Peternakan kucing milik Pak Laiman.

Peternakan ini bisa ditempuh dengan berkendara selama empat jam dari Jakarta, sering diliput televisi, dan di banyak forum internet sering direkomendasikan sebagai tempat untuk membeli kucing karena kualitas kucingnya yang bagus. Setelah melewati persawahan, gue tiba di peternakan kucing Pak Laiman.

Di depan pagar berwarna hitam yang tinggi, gue mem bunyikan klakson. Dari depan, peternakan ini ter lihat seperti gudang pabrik besar yang terletak di ping giran kota. Beberapa tanaman rambat menjulur dari bagian atas pagar. Sebuah pohon besar membayangi mobil gue.

Tidak lama kemudian, Pak Laiman keluar membuka­ kan pintu pagar dan mempersilakan gue masuk. Pak Laiman orangnya kurus, rambutnya sudah mulai agak putih. Dia memakai kemeja biru dengan ikat pinggang cokelat. Ketika berjalan, dia agak sedikit membungkuk.

Pak Laiman menyambut gue yang baru turun dari mobil dengan jabatan tangan. Dia bertanya, ‘Susah nyari alamatnya?’

Gue menggeleng. ‘Enggak juga kok, Pak. Lama ka­ rena jauh saja.’

Lihat selengkapnya