INTERNET telah mengubah cara orang untuk bertemu dengan jodohnya. Terutama setelah ada aplikasi di handphone bernama Tinder. Gue tahu aplikasi kencan buta no mor satu ini dari Podma, seorang cewek Filipina yang bekerja di Bangkok. Gue waktu itu lagi shooting untuk sebuah iklan di Bangkok, dan Podma adalah perwakilan dari agency yang mengurus iklan di sana.
Gue lagi break dari shooting, duduk di meja makan. Di kursi depan gue, Podma sedang asyik menggunakan aplikasi Tinder di handphone-nya. Gue sekilas melihat ada foto cowok ganteng, lalu gue bertanya, ‘Itu apa?’
‘Tinder.’ Podma memperlihatkan handphone-nya. ‘Ini aplikasi untuk nyari jodoh. Populer sekali, loh.’
‘Gimana cara memakainya?’
‘Gampang.’ Podma memperlihatkan caranya. ‘Perta ma, kita download Tinder di handphone, lalu login memakai Facebook.’
‘Terus?’
‘Nah, nanti bakal muncul fotofoto orang yang ada di dekat kita, yang juga memakai Tinder. Nih, lihat.’
Gue melihat foto seorang cowok ganteng. Lalu ada tulisan di bawahnya: jarak 1 km.
‘Satu kilometer, berarti cowok ini ada di dekat sini,’ kata Podma.
‘Keren.’
‘Kalau suka sama orang itu, kita tinggal pencet gam bar hati hijau , kalau gak suka, pencet silang merah.’
Podma memencet silang merah. Foto cowok yang sebelum sekarang berganti menjadi foto cowok lain. Pod ma memandanginya sebentar, dia lalu berkata, ‘Yang ini ganteng juga.’ Ia memencet hati hijau.
‘Kalau udah?’
‘Kita tunggu. Kalau dia nge-like profil kita, baru kita bisa ngajak dia ngobrol, kirim message lewat Tinder juga.’
‘Keren banget.’
‘Kamu harus coba,’ kata Podma. ‘Are you single?’
‘Yeah, long enough.’
‘Coba aja, siapa tahu kamu bisa punya pacar orang Thailand,’ kata Podma. ‘Orang Thailand cantikcantik, loh.’
Gue manggut-manggut. Hidung gue kembang kempis.
Diiming-imingi punya pacar orang Thailand, gue pun men-download aplikasi Tinder. Gue melihatlihat foto satu persatu orang. Hampir semuanya cantik. Sebagian besar gue kasih hati hijau, tapi gak ada yang match sama gue. Tampaknya, orang-orang ini gak mau sama gue. Bahkan dengan bantuan teknologi pun cinta gue masih bertepuk sebelah tangan.
Podma melihat foto profil gue di Tinder, dia bilang, ‘Itu foto yang kamu pasang jelek. Coba pasang foto yang bagusan.’
‘Podma, percaya sama aku, ini udah mentok. Ini foto yang paling ganteng,’ kata gue. Raut muka Podma ber ubah menjadi kasihan.
Gue pasang foto yang bagusan, tetap gak ada yang mau. Tampaknya jadi nasib gue untuk tidak ada yang mau.
Pada hari terakhir di Bangkok, gue jalan sendirian ke mall. Podma bilang ada restoran all you can eat sushi enak di Central Mall Rama 9, sebuah mall baru yang be sar. Termotivasi rasa rakus, maka gue berangkat ke sana. Namun, di depan kaca restoran itu gue gak jadi makan. All you can eat sushi berarti sushinya dijembreng begitu saja di satu restoran. Sushi-sushi itu terlihat tidak fresh lagi. Salmon sushi gue lihat bahkan berwarna pucat. Baru nge lihat aja gue udah diare.
Gue memutuskan makan di restoran Jepang lain, di lantai yang sama. Memesan satu buah gindara. Di saat menunggu, gue membuka Tinder dan kembali melihat satu per satu cewek Thailand. Hati hijau, silang merah, hati hijau, silang merah, ulangi terus.
Di bawah foto mereka ada satudua kalimat yang menjelaskan tentang diri mereka. Lucu juga bagaimana kepribadian seseorang bisa disarikan hanya dengan kata-kata di kolom profil. Nang, 22 tahun, suka ke pesta. Jam, 24 tahun, motto hidupnya adalah always having fun. Sampai yang paling aneh, orang barat berkacamata yang menulis profilnya: ‘Aku orang yang suka makan. Biarkan aku memakanmu.’
Di antara orangorang ini, ada satu cewek yang cantik sekali.