Koala Kumal

Gagas Media
Chapter #6

PEREMPUAN TANPA NAMA

BANYAK laki­-laki dalam perjalanan hidupnya tidak sengaja bertemu dengan perempuan menarik tapi gak berani ngajak kenalan. Perempuan itu pun pergi berlalu, berujung dengan para laki-­laki ini berandai: apa yang terjadi seandainya gue berani ngomong sama dia?

Sama seperti mereka, gue juga seperti itu. Gue se­but perempuan yang pergi berlalu tanpa sempat ber­tukar nama ini sebagai ‘Perempuan Tanpa Nama’ karena sampai sekarang gue gak tahu nama mereka. Beberapa dari mereka sangat membekas di ingatan gue. Inilah tiga orang di antaranya:

Satu

Perempuan Tanpa Nama pertama gue temui ketika masih Sekolah Dasar. Gue melihat dia di lantai dua Ken­tucky Fried Chicken di daerah Jakarta Selatan. Perempuan tersebut duduk bersama ibu dan adiknya. Dia berjarak empat bangku dari gue yang makan sendirian. Dia terlihat seumuran dengan gue saat itu, sekitar dua belas tahun.

Dengan mudah, gue jatuh cinta pada pandangan pertama.

Perempuan itu makan satu paha ayam Kentucky Fried Chicken dengan begitu anggun. Sebagai cowok yang sedang jatuh cinta, gue hanya bisa melakukan apa yang kami lakukan kalau ngelihat cewek cantik lagi makan ayam goreng: mangap.

Rambut perempuan itu ikal dan dikucir, beberapa he­lai rambut jatuh di depan dahinya, seolah malas untuk di­rapikan. Adiknya sesekali meminta kulit ayam miliknya, yang lalu perempuan tersebut berikan begitu saja. Sung­guh berbeda dengan gue. Karena enak, kulit ayam KFC selalu gue simpan untuk dimakan paling akhir. Jika adik gue berani minta... gue bisa ngamuk: badan gue berubah jadi hijau, baju robek­-robek, bulu hidung menyapu lantai.

Otak anak SD gue yang terbatas saat itu hanya bisa berpikir: gue naksir dia. Yang selanjutnya berpikir: terus, gue mesti ngapain?

Tadinya gue berniat untuk langsung nyamperin dengan alis diangkat dan suara diberat-­beratkan, bilang, ‘Hai, anak SD mana kamu? Boleh kenalan?’ Mengingat gue pipis aja masih zig-­zag, gue gak berani.

Beberapa cara pun gue lakukan untuk menarik per­hatian dia. Pertama-tama gue melewati kursinya, ber­pura-­pura ke toilet. Namun, dia tidak menggubris sama sekali. Gue kembali lagi ke bangku. Gue lalu pergi lagi pura­pura ke toilet, melewati meja dia. Dia tetap tidak menggubris. Gue kembali ke meja gue, menghela napas. Saat ini gue udah tiga kali dalam tiga menit bolak­balik ke toilet, kalau gue pura-­pura pergi ke toilet lagi mungkin orang­-orang di restoran ini menyangka titit gue bocor.

Setengah jam berlalu, gue masih sebatas memper­hatikan dia saja.

Gue memainkan gelas Coca­-Cola di tangan, berpura­ pura minum, padahal isinya sudah habis. Dia lalu berdiri dari tempat duduknya, bersama dengan keluarganya, dan untuk sepersekian detik, mata kami bertemu. Rasanya seperti dilindas angkot waktu lagi tidur di jalanan.

Sempat tebersit di pikiran gue untuk langsung ber­diri dan menyalami dia saja. Tapi tidak, gue tidak berani. Maka, seiring dengan dia keluar dari restoran, dia tetap menjadi perempuan tanpa nama.

Tiga hari kemudian, gue cerita soal perempuan ini kepada Dodo, teman satu kompleks. Di rumah, sambil duduk sebelahan dengan Dodo, gue berkata, ‘Kayaknya gue jatuh cinta, deh.’

Dodo, yang sedang membaca komik Kenji, menengok ke arah gue lalu bertanya, ‘Sama siapa?’

‘Ada cewek gitu, gue lagi makan sendirian di res­toran. Terus cewek ini dateng sama Nyokap dan adeknya. Cakep banget.’

‘Kayak artis, gak?’

‘Kayak Paramitha Rusady. Cakep banget.’

‘Wah, itu, sih, gue juga suka.’ Dodo menutup komik yang dia baca, lalu menatap tajam ke gue. ‘Lo foto dia gak?’

‘Enggak.’

‘Lah, kenapa gak lo foto?’ tanya Dodo, sambil tiduran kembali.

Gue sewot. ‘Masa gue bawa kamera Bokap ke mana­ mana?’

Zaman itu belum seperti sekarang, yang mana orang bisa mengambil foto kapan pun melalui handphone me­reka. Zaman dulu kamera yang paling praktis adalah kamera Kodak milik Bokap. Itu pun film kameranya ha­rus dicuci dulu baru kita bisa melihat hasilnya. Foto-­foto yang gue ambil, seringkali terbakar.

‘Gue punya, dong, fotonya Milla,’ kata Dodo. Milla adalah cewek yang ditaksir oleh Dodo di sekolahnya. Dia sudah lama suka tapi gak pernah berani ngomong ke Milla. ‘Gue ngambil fotonya dari tas dia.’

‘Lo ngambil foto orang dari tasnya?’ Gue menggeleng­ kan kepala. ‘Masa lo ngobrak­-abrik tas orang, sih, Do?!’

‘Yeeeh, namanya juga suka. Apa aja juga jadi kali, Dik.’

‘Terus fotonya sekarang di mana?’

‘Gue bawa, kok, sekarang. Saking sukanya gue sama Milla, foto dia gue semprotin parfum, Dik.’

‘Jadi wangi?’ tanya gue.

‘Wangi, sih, tapi kayaknya parfumnya kurang bagus. Gambar mukanya jadi lumer kayak perasaan gue.’ Ya, Dodo semenjak kecil memang sudah dangdut.

Dodo merogoh kantongnya, dia mengeluarkan dom­pet lusuh bergambar Doraemon pemberian bokapnya, kado kenaikan kelas tahun lalu. Dodo mengambil foto Milla dari dalam dompet, dia memandanginya. Fotonya memang sudah lumer. Mata Milla turun hingga ke pipi­nya. Kalau begini Milla terlihat seperti orang yang gagal operasi plastik.

Dodo memandangi foto Milla dengan penuh pera­saan. Dia menghela napas panjang lalu membalikkan badannya ke gue, ‘Namanya siapa?’ ‘

Apa?’

‘Cewek yang lo taksir itu. Namanya siapa?’ tanya Dodo.

‘Gue gak tau namanya.’

‘Belom tau namanya?’ Dodo menghela napas pan­jang. ‘Terus, gimana lo mau jadian sama dia?’

‘Lah, lo udah tau namanya si Milla. Tapi gak jadi­-jadian, tuh,’ balas gue, sewot. Dodo mendengus, dia tidak menjawab. Dodo hanya kembali melihat foto Milla di tangannya. Matanya mengawang­-awang.

Orang yang jatuh cinta terkadang berharap pada hal yang tidak pasti. Selama tiga hari ke depan, setiap pulang sekolah, gue mampir ke Kentucky Fried Chicken. Berharap Perempuan Tanpa Nama datang kembali ke tempat ini. Hari pertama, dia gak ada. Hari kedua juga. Begitu pula dengan hari ketiga. Nyokap sampai bingung kenapa gue tiba-­tiba jadi suka ayam goreng. Dia nanya ke gue, ‘Kamu lagi doyan banget, ya?’ Gue hanya bisa menjawab, ‘Gitu, deh, Ma.’

Tiga minggu berlalu, gue melanjutkan hidup seper­ti biasa. Sekolah, les, pulang, sampai lupa lagi dengan perempuan tersebut. Suatu sore selepas pulang les, gue mampir ke Kentucky Fried Chicken kembali, setelah se­kian lama. Gue memesan makanan, lalu duduk di pinggir jendela. Kebetulan bisa terjadi pada saat yang kita tidak pernah duga. Perempuan Tanpa nama itu ada di sini.

Dia sudah duduk terlebih dahulu, lagi­-lagi bertiga bersama ibu dan adiknya. Duduknya berbeda dari se­belumnya, sekarang lebih dekat ke toilet. Gue makan ayam goreng dan kentang. Setiap gigitan gue merasa semakin suka sama dia.

Sambil tetap ngelihatin dia, gue mulai penasaran siapa nama perempuan ini. Gue mulai menebak­-nebak sendiri, memikirkan nama yang pas buat perempuan se­perti dia: berkulit putih, beralis tebal, berbola mata hitam dan bulat. Amira, Sandra, Sasha?

Gue lalu berandai­-andai, mulai menebak cerita hi­dupnya. Mungkin Perempuan Tanpa Nama ini tinggal di dekat sini. Mungkin dia sudah tidak tinggal sama bapak­nya lagi, mungkin dia sedang menunggu bapaknya, atau mungkin gue adalah bapaknya. Eh, kok, jadi gitu?

Gue berkhayal, membuat cerita tentang adiknya. Adiknya suka banget Kentucky Friend Chicken sehingga mereka ke sini terus. Gue berkhayal, dan berkhayal, dan berkhayal. Karena ini memang yang biasa dilakukan oleh orang yang jatuh cinta dari kejauhan, hanya sebatas ber­khayal.

Dia akhirnya selesai makan, mengajak adik dan ibu­nya pulang. Panik tidak ingin kehilangan dia, gue me­nimbang­-nimbang opsi yang gue punya sekarang berikut dengan keuntungan dan kelemahannya.

1. Nyamperin dia minta kenalan. Keuntungan: gue bisa dapat namanya. Kelemahan: saking groginya, ada kemungkinan gue ngomongnya bakal ngaco dan gue gak bisa dapatkan dia selamanya.

Lihat selengkapnya