Koala Kumal

Gagas Media
Chapter #7

MENCIPTAKAN MIKO

SEMUA dimulai saat gue lagi jenuh banget sama acara tele­visi di Indonesia. Setiap nonton televisi, gue gak menemu­kan tayangan yang gue suka. Acara televisi di Indonesia biasanya dibagi menjadi tiga kategori: 1) sinetron laga naik elang; 2) reality show tentang orang yang jadi simpanan jan­da; 3) orang dihipnotis lalu ngaku selingkuh.

Karena kesal, gue sering protes soal acara TV di Twitter. Hingga suatu saat pada akhir tahun 2010, ada follower gue yang balas tweet gue, ‘Kalau lo gak suka sama acara TV Indonesia. kenapa gak lo bikin aja sendiri?’ Pertanyaan itu membekas banget di kepala gue. Gue pun berpikir, benar juga.

Pada masa yang sama, gue lagi jomlo. Seperti jomlo lainnya, malam Minggu pasti dilewatkan dengan galau, se­dih, menggali liang persembunyian bersama jomlo­ jomlo lainnya. Berbekal dari pengalaman ini gue memutuskan membuat sebuah serial komedi tentang pengalaman seorang cowok jomlo cemen dalam melewati setiap malam Minggu. Cowok tersebut gue kasih nama Miko. Maka, lahirlah Malam Minggu Miko.

Awalnya gue memang mau membuat serial TV. Na­mun karena yakin gak ada televisi yang mau menayang­kan, gue pun berpikir untuk membiayai sendiri dengan uang seadanya. Durasinya kurang lebih sepuluh menit dan ditayangkan di Youtube saja. Gue mulai menulis skenario untuk episode pertama. Seminggu kemudian, skenario selesai, berjudul: Malam Minggu Miko, episode Nissa1.

Langkah selanjutnya adalah mencari aktor untuk ber­main dalam serial kecil­-kecilan ini. Karena gak ada duit, gue ngajak teman gue yang juga juara Stand Up Comedy Indonesia season 1, Ryan Adriandhy, untuk bermain tanpa dibayar. Gue ciptakan karakter bernama Rian untuk dia.

Selanjutnya gue mencari aktor untuk karakter asisten rumah tangga di rumah Miko dan Rian, yang saat itu be­lum gue kasih nama. Pilihan jatuh kepada asisten rumah tangga gue sendiri, namanya Mbak Neni. Gue ngajak dia karena Mbak Neni cukup banci tampil di lingkungan kom­pleks gue. Dia doyan ngomong, dan yang paling penting, lagi­-lagi enggak harus dibayar.

Malam itu gue bilang ke Mbak Neni, ‘Mbak, bantu­in proyek kecil-­kecilan aku, ya. Acting gitu buat main di video.’

‘Soteng gitu ya, Bang?’ tanya Mbak Neni.

‘Iya, shooting,’ kata gue.

‘Mau, Bang, Mau! Ada Dude Herlino gak?’ tanya Mbak Neni.

‘Enggak, Mbak Neni kayaknya berharap terlalu ting­gi.’ Gue menggaruk kepala gue. ‘Ini cuma shooting biasa, buat Youtube.’

‘Oh gitu,’ kata dia, setengah kecewa. ‘Oke, deh, Bang.’

Gue yakin dia juga gak tahu apa artinya Youtube.

Aktor sudah komplit, gue pun memutuskan un­tuk menyutradarai sendiri serial Malam Minggu Miko ini. Alasannya, karena gue gak perlu bayar sutradara lagi. Tim gue bentuk dari teman-­teman, termasuk cameraman, sound­ man, dan tim produksi. Total kru ada lima orang, isinya teman­-teman yang tidak butuh dibayar. Ya, gue memang sepelit itu.

***

HARI shooting pun tiba. Berbekal buku penyutradaraan dan rasa sok tahu yang tinggi, adegan demi adegan gue shoot. Ketika waktunya untuk shoot adegan asisten rumah tangga, gue samperin Mbak Neni ke kamarnya. Sambil membuka pintu kamar, gue bertanya, ‘Mbak Neni, udah siap acting? Adegannya sebentar lagi, nih.’

‘Bentar, Bang. Mbak belum selesai make up.’ Mbak Neni masih sibuk menempelkan bedak di pipinya. Dia memakai make up yang tebal banget. Gue rasa kalau dia jalan, kepalanya jadi condong ke depan karena keberatan.

Mbak Neni menutup kotak make up­-nya. ‘Nah, udah, Bang.’

Gue beranjak keluar dari kamarnya, lalu Mbak Neni bilang, ‘Sebentar, Bang. Duh, Mbak belom siap terkenal, nih.’

Gue menghela napas. ‘Kayaknya gak bakalan sampai terke....’

Mbak Neni memotong, ‘Bang, nanti Mbak Neni ter­kenal, terus dapet sinetron, terus pacaran sama Dude Herlino gimana?’

Gue menelan ludah. ‘Mbak Neni, Dude Herlino mungkin gak bakal nonton.’

‘Oh gitu ya,’ kata dia, sekali lagi kecewa. ‘Ya, udah, deh.’

Setelah Mbak Neni keluar dari kamarnya, adegan pun siap diambil. Sebenarnya adegannya sederhana saja: gue dan Rian turun dari tangga, melihat Mbak Neni lagi sibuk nyari ular, lalu kami bertiga berdiskusi soal ular. Gampang.

Gue bertanya kepada Mbak Neni, ‘Oke, siap, ya, Mbak?’

‘Eh, sebentar, Bang! Sebentar!’ Mbak Neni menge­luar kan make up dan mencocol mukanya dengan bedak. Setelah dia selesai membereskan titik bedak yang ter­akhir, gue berkata, ‘Oke, camera, rolling, action!

Namun yang terjadi Mbak Neni bukannya ber-­acting, dia malah menutup mukanya dengan tangan sambil ke­tawa­-ketawa malu, ‘Ihihihihihi. Ihihihihi.’

‘Mbak? Ngapain, sih?’ tanya gue.

‘Ihihihihi. Aku malu, Bang. Ihihihihihi,’ jawab Mbak Neni masih sambil menutup mukanya, lalu lari ngibrit ke lantai dua.

Hening.

Gue ke atas untuk bertanya pada dia. Gue mene­mukan Mbak Neni lagi ketawa-­ketawa kecil sendiri di depan kamar mandi. Antara malu sama kesurupan setan penunggu WC beda tipis.

Gue bertanya, ‘Mbak, jadi gak, nih, shooting­-nya?’

‘Aku malu, Bang. Gak jadi deh.’

‘Dude Herlino gimana? Gak jadi, dong, nanti jodoh sama dia,’ tanya gue, berusaha meyakinkan dia.

‘Gak papa, deh, Bang. Kayaknya kita gak bakalan cocok.’

‘Gak jadi beneran, nih?’ tanya gue, yang diikuti oleh anggukan kepala Mbak Neni.

Gue kembali ke lantai bawah, bilang ke cameraman gue, ‘Mbak Neni gak jadi main, nih.’

‘Terus gimana?’ tanya dia.

‘Coba gue mikir dulu.’ Gue duduk di sofa, mem­bolak-­balik halaman skenario, melirik ke arah jam. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, dan gue harus mengambil adegan Rian­-Miko-­asisten rumah tangga ngomongin ular ini.

Break dulu, deh, guys,’ kata gue ke seluruh kru. ‘ Sambil gue nyari jalan keluarnya.’

Berniat mencari udara segar, gue membuka pintu dan ke luar rumah. Di depan rumah ada Anca, asisten di management gue, lagi nongkrong sambil nungguin shooting. Dia memakai kaus kebesaran, jongkok sambil ngobrol sama sopir gue. Dia melihat gue yang keluar dengan muka lesu.

‘Kenapa, Dit?’ tanya dia.

‘Lagi pusing, nih.’ Gue duduk di sebelah dia. ‘Di mana, ya, gue harus nyari orang yang mukanya kayak pembantu jam segini?’

‘Di mana, ya?’ Anca ikut membantu berpikir.

‘ Hmmmmmm.’ Gue melihat muka Anca. ‘Hmmm, muka lo kayak pembantu, sih, Ca.’

‘Uh, iya, sih. Terus?’ tanya Anca.

‘Ah! Gimana kalau gini’, gue menepuk kedua tangan, ‘lo aja yang main jadi pembantu! Gue tinggal ganti nama­nya aja pake nama lo beneran... Anca!’

‘Tapi, gue gak bisa acting,’ kata Anca.

‘Kayak lo sehari­-hari aja.’

‘Bego-­bego gitu?’ tanya Anca.

‘Iya.’

Anca akhirnya setuju. Dia masuk ke rumah, meng­ganti bajunya dengan yang lebih ‘mirip asisten rumah tangga’. Hanya dua kali take, adegan dia selesai. Anca me­ merankan semuanya dengan sempurna. Jadi, kalau ada yang nonton Malam Minggu Miko dan bertanya, kok, Anca jago banget acting­-nya jadi asisten rumah tangga bego, rahasianya ini: Anca gak jago acting, dia emang bego beneran.

Selanjutnya, kami pergi ke lokasi lain, shoot adegan lain. Setelah semuanya selesai, gue pun mengedit epi­sodenya. Editan selesai, semua telah rapi dan beres, gue meng-­upload ke Youtube. Maka, Malam Minggu Miko epi­sode perdana yang berjudul Nissa pun lahir. Episode yang mengawali semuanya.

***

MALAM Minggu Miko Episode Nissa yang gue shoot ternyata ditonton banyak orang. Dalam seminggu sudah ada tiga ratus ribu kali views. Namun, orang-­orang baru mulai ngomongin Malam Minggu Miko episode kedua berjudul Miranda, yang masih gue biayai dengan uang sendiri, di-­upload di Youtube. Dalam seminggu, total kedua episode itu ditonton tujuh ratus kali.

Media massa pun mulai ramai menghubungi gue. Salah satu pertanyaan yang diajukan oleh media adalah: ‘Gimana kalau Malam Minggu Miko dijadikan program televisi?’

Jujur, gue sebenarnya gak mau Malam Minggu Miko diserahkan ke televisi, gue takut dibuat jadi kayak sinetron. Aneh juga kalau tiba­-tiba pada satu episode, Miko di­hamilin Anca, atau Miko pergi kencan naik elang. Jadi jawaban gue adalah: ‘Kayaknya untuk sementara Malam Minggu Miko hanya akan jadi tayangan di Youtube aja, yang dibuat kalau gue lagi ada duit dan sempat bikin.’

Lihat selengkapnya