Koala Kumal

Gagas Media
Chapter #8

LEBIH SERAM DARI JURIT MALAM

KEPRIBADIAN seseorang bisa dinilai dari ekstrakuriku­ler yang mereka ambil di sekolah. Pelajar yang kutu buku biasanya ikut ekskul Kelompok Ilmiah Remaja (KIR). Mereka yang gaul biasanya ikut ekskul band. Kalau cewek cantik biasanya ikut cheerleaders, kalau cowok yang me­rasa cantik (dan bisa nyumpelin dua bola tenis di dada) biasanya juga ikutan cheerleaders.

Pemilihan ekstrakurikuler ini yang membuat gue bi­ngung ketika masuk SMP. Sewaktu SD, gue anak yang gak punya banyak teman, maka gue merasa SMP adalah kesempatan untuk mengubah nasib gue. Gue percaya proses perubahan gue dari cemen ke keren dimulai dari memilih ekskul.

‘Gue kasih tau lo, ya, Dik,’ kata Nikolas, teman seke­las gue sewaktu SMP saat itu. ‘Lo mending pilih ekskul yang olahraga-­olahraga gitu.’

‘Kenapa emang?’ tanya gue.

‘Gue kemaren baca di majalah Hai, katanya cewek zaman sekarang suka cowok yang sporty.’

Ini adalah zaman ketika internet belum selazim se­karang, dan saat itu Nikolas adalah orang yang men­dapatkan segala macam informasi dari majalah Hai. Salah satu tip dari majalah Hai yang pernah ia baca adalah co­wok harus terlihat cuek sama cewek gebetan supaya si cewek penasaran. Nikolas mempraktikkan tip tersebut selama satu bulan penuh, dia nyuekin cewek gebetannya. Bukannya berhasil, malah dia gak jadian­-jadian gara­-gara gebetannya bahkan gak tahu Nikolas siapa.

Tanpa berpikir panjang, gue mengikuti saran Nikolas. Gue mencari ekskul olahraga yang tepat untuk diikuti. Ekskul pertama yang menjadi pilihan: basket. Gue agak ragu ikutan ekskul ini. Rata­-rata yang ikut basket tingginya 160 cm ke atas, sedangkan tinggi gue cuman... 120 milimeter. Yah, bisalah nambah 3 mili kalau terkena panas5. Badan gue kurus dan pendek, kalau ikutan basket pasti bakal malu­-maluin. Kalau gue main tangan me­layang ke mana-­mana, dislokasi tulang di sana­-sini.

Gue pun membanting setir, gue mencari ekskul yang nyeni.

Gue mencoba ikutan ekskul melukis. Sewaktu SD, gue ngerasa jago banget gambar karena Nyokap selalu me­muji hasil gambar gue, hasil menggambar dua gunung dan satu matahari di tengah­-tengah. Belakangan gue baru sadar, Nyokap akan memuji apa pun yang gue lakukan saat itu karena... yah, gue, kan, anaknya dia. Mungkin kalau sewaktu gue gambar tahi berbentuk Sponge Bob, Nyokap, tetap akan memuji gambar gue.

Pilihan gue dan Nikolas akhirnya jatuh ke ekskul Palang Merah Remaja.

Gue ngerasa ekskul itu cocok banget sama gue. Ke­giatannya gak terlalu susah (cuman bikin-­bikin ikatan memakai kain), anak-­anaknya juga rata-­rata sama cemen­nya kayak gue. Gue merasa akhirnya dapat ekskul yang cocok untuk gue. Semuanya begitu indah... sampai tiba masa pelantikan.

Di SMP gue, ekskul PMR dijadikan ajang senioritas. Semuanya terlihat di pelantikan ini. Kata kakak senior pelantikan adalah proses ‘membuktikan kalian pantas menjadi PMR yang baik’, namun bagi gue pelantikan berarti ‘dikerjain senior sampai stres’.

Pelantikan ekskul SMP diadakan di Cibubur, jauh dari pengawasan guru­guru. Ini berarti: junior mati aja. Begitu malam hari tiba, ketika jurit malam, semua anak kelas satu dikerjain. Terutama Nikolas. Kakak kelas gak suka dengan muka Nikolas karena menurut mereka mu­kanya ‘bego­-bego belagu’. Nikolas pun menjadi incaran. Dia terus­-menerus dikerjain. Nikolas disuruh nyari semut warna pink, Nikolas juga disuruh ngerayu bulan sampai jatuh. Nikolas terlihat tidak suka dikerjain, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bilang, ‘Baik, Kak’ untuk setiap hal yang disuruh oleh senior.

Di tengah-­tengah pelantikan, hujan turun.

Gigi Nikolas gemertak, badannya gemetaran. Di antara para junior lain yang lagi dikerjain, ada kami berdua ke­dinginan, terguyur hujan. Senior yang paling galak berdiri di depan kami, memegang payung di tangan kanannya.

‘Kalian kedinginan gak?’ tanya Senior Galak dengan mata menyala.

‘Kedinginan, Kak,’ kata Nikolas.

‘Iya, Kak! Dingin!’ seru gue juga. Jawaban yang salah.

‘Oh, Kedinginan?!’ Si Senior tersenyum lebar. ‘Kalau gitu kalian berdua saling peluk. Biar hangat.’

‘Maksudnya, Kak?’ tanya Nikolas, dia terlihat ragu, seolah takut badannya bernanah setelah bersentuhan de ­ngan kulit gue.

‘Iya, kalian saling peluk.’ Hujan makin deras meng­ guyur. ‘CEPAT!’

Nikolas mendatangi gue perlahan, dalam sekali ge­rakan dia memeluk gue. Dengan badan penuh tanah ber­lumuran, sambil memeluk gue, dia berbisik lirih di telinga gue, ‘Suatu saat gue akan balas dendam, Dik. Suatu saat.’

‘Nik, please jangan meluk gue sambil bisik-­bisik gini,’ kata gue.

Kami kembali berpelukan erat di bawah hujan rintik sore itu.

Romantis, sekaligus menggelikan.

***

DUA tahun kemudian, gue duduk di depan kelas dengan buku Fisika penuh coretan. Ujian semesteran kelas 3 SMP akan dimulai hari ini. Nikolas, yang duduk di sebelah gue, terlihat tidak berkonsentrasi. Pikirannya mengawang ke hal lain.

‘Dik,’ katanya. ‘Minggu depan kita pelantikan PMR buat junior­-junior kita.’

‘Terus?’ tanya gue, tak acuh. Gue dan Nikolas se­karang sudah menjadi senior di PMR. Dua tahun penuh dikerjain senior telah berlalu, sekarang gantian kami yang dianggap dewa oleh para junior.

‘Akhirnya gue bisa balas dendam, Dik.’ Nikolas tersenyum lebar.

‘Mendingan lo belajar dulu,’ kata gue, sibuk dengan buku Fisika yang penuh coretan. Saat ini kami sedang menjalani ujian semesteran. Setelah ujian semesteran selesai, kami akan libur. Ekskul PMR akan melaksanakan pelantikannya ketika liburan ini. Buat Nikolas ini berarti kesempatan untuk membalas dendam akan segera tiba.

Nikolas menunjuk ke seorang anak kelas satu. ‘Eh, lihat, tuh, adek kelas yang semeja sama gue.’

Di sekolah gue, saat ujian semesteran, anak­-anak kelas tiga dipasangkan satu meja dengan anak kelas satu. Buat teman-­teman gue yang cowok, ini jelas jadi ajang paling sempurna untuk ngegebet adik-­adik kelas cewek yang cantik. Buat adik-­adik kelas yang cewek, ini jadi ajang buat gebet kakak kelas cowok yang cakep. Semua senang. Nikolas sendiri kecewa karena dia duduk bersebelahan dengan anak kelas satu cowok yang kribo dan berkacamata.

Masih menunjuk ke adik kelas yang semeja dengan­nya, Nikolas bilang, ‘Enggak banget, tuh, orang, udah make deodoran terus deodorannya luntur pula. Jadi kelihatan, tuh, cokelat­-cokelat di keteknya gitu.’

Gue melihat ke ketek si Anak Kelas Satu, emang iya ada cokelat­cokelat di keteknya, bekas deodoran.

‘Keteknya jadi kayak mencret gitu.’ Nikolas men­dengus. ‘Lo duduk sama siapa?’

‘Enggak tahu, kayaknya orangnya belum datang,’ kata gue.

Bel sudah berbunyi dan anak kelas satu yang duduk semeja sama gue belum juga datang. Ketika soal selesai dibagikan, dan satu kelas mulai sibuk mengerjakan, datang seorang perempuan kecil berkacamata masuk dari pintu depan. Gue mengenali dia sebagai Lina, junior gue di PMR.

Guru pengawas hanya bisa menggeleng heran. Dia melihat jamnya lalu menegur Lina, ‘Jam berapa ini?!’

‘Maaf, maaf,’ katanya.

Dia lalu duduk di sebelah gue, mengecek kartu pe­serta ujiannya sekali lagi, lalu bertanya, ‘Aku semeja sama Kak Dika?’

Gue menggangguk, pasrah.

Dari depan, pengawas teriak, ‘Heh! Itu tasnya kenapa masih dipakai?’

‘Maaf, Bu. Maaf,’ kata Lina sambil buru­-buru mele­takkan tasnya di depan kelas. Satu kelas menahan tawa. Dia lalu kembali ke tempat duduk.

Lina membuka kertas soal yang sudah ada di atas meja. Tiga detik kemudian dia menutup mukanya dengan kedua tangan. Dia menjambak­jambak rambutnya yang pendek, mendengus, lalu menggumam, ‘Bego, bego, bego, bego.’

Gue nanya, ‘Heh, lo kenapa, sih?’

‘Mati, deh, saya, Kak.’

‘Mati kenapa?’ tanya gue.

Dari kejauhan, pengawas mulai melirik­-lirik ke meja gue dan Lina. Dia melihat gerak-­gerik kami yang men­curigakan. Lina menggigit bibir bawahnya. Dia berkata, pasrah, ‘Mati saya, Kak. Saya salah belajar, Kak. Saya pikir hari ini ujian Bahasa Indonesia, gak tahunya Bahasa Inggris.’

‘Hah,’ kata gue. ‘Jadi lo belajar apa enggak?’

‘Belajar, Kak. Tapi... salah mata pelajaran.’ Lina me­nutup wajahnya dengan kedua tangan.

Gue menelan ludah, ikutan panik.

Pengawas berdehem, dia berkata dengan galak, ‘Itu jangan berisik, ya. Jangan macam-­macam yang di be­lakang!’

‘Pengawasnya galak banget, Kak,’ bisik Lina.

‘Iya, mungkin dia tadi mau buang air besar tapi air­ nya abis’. Gue lalu melanjutkan mengerjakan soal ujian.

Setengah jam berlalu, Lina hanya memandangi kertas jawabannya. Dia melirik ke arah pengawas yang lagi sibuk SMS­an. Merasa ada kesempatan, dia memanggil teman­nya yang duduk di depan meja kami, ‘Pssst... Woi....’

Temannya tidak memberikan respons, mungkin ti­dak kedengaran, mungkin pura-­pura gak dengar agar tidak dimarahin sama pengawas. Karena dicuekin, Lina lalu mulai mengayunkan kakinya, mencoba menendang pelan kursi di depannya. Tapi percuma karena Lina pendek, kakinya mengayun­-ayun, tidak sampai-­sampai menendang kursi di depannya. Gue merasa kasihan, teta­pi sekaligus ingin tertawa.

‘Gue bantuin sini,’ kata gue. ‘Biar gue yang tendang.’

Gue mengayunkan kaki ke depan, mencoba menen­dang kursi depan, dan... ternyata kaki gue juga gak nyampe. Gue lupa, gue juga pendek. Sekarang gantian Lina yang terlihat kasihan, tetapi sekaligus ingin tertawa.

Setelah kejadian salah belajar mata pelajaran itu, selama lima hari ke depan ujian berlangsung, gue jadi sering ngobrol bareng Lina. Kadang dia nanya-nanya soal kakak kelas yang ganteng, yang kebetulan gue ke­nal. Kadang dia nanya materi ekskul PMR yang dia ti­dak terlalu paham. Gue sendiri gak terlalu banyak cerita, hanya mendengarkan saja curhatan­-curhatan dia.

Pada hari terakhir ujian dia terlihat sedih karena ini berarti kami kembali ke kehidupan kami masing-­masing. Gue bilang ke Lina, ‘Kita ketemu di pelantikan, ya. Lo dateng, kan?’

‘Iya, Kak. Saya datang.’ Lina agak menahan dirinya untuk bertanya, ‘Kak, pelantikan itu serem gak, sih?’

‘Uh.... Enggak kok,’ kata gue, berbohong.

Pelantikan PMR pasti seram banget. Apalagi gue udah bisa membayangkan hidung Nikolas yang kem­bang-­kempis, gak sabar untuk segera ngerjain anak­-anak kelas satu yang tidak berdosa ini.

Gue mencoba membesarkan hati Lina dengan berka­ta, ‘Apa pun yang akan terjadi, hanya terjadi selama dua hari, kok. Cepet selesainya.’

Lina menunduk. Dia terlihat takut.

***

PELANTIKAN diadakan selama dua hari satu malam di Bumi Perkemahan Cibubur. Sama seperti yang pernah gue alami, anak kelas satu dan kelas dua akan dilantik sementara kami kelas tiga ngerjain mereka.

Hari pertama diisi dengan pemberian materi pelajaran Palang Merah. Anak­-anak kelas satu berkumpul, lalu mereka diberi pelajaran tentang kesehatan, cara membuat tandu, dan lain-­lain. Sorenya, mereka dikasih kesempatan untuk mengadakan dapur umum, yaitu membuat makanan dengan bahan yang sangat murah. Pagi dan sore ini adalah bagian yang menyenangkan bagi adik kelas. Mereka belajar dan bermain tanpa kecemasan.

Bagian tidak menyenangkan dimulai sejak pukul se­tengah satu pagi dan berakhir pukul enam pagi. Saat jurit malam dimulai.

Adik­-adik kelas sedang tidur terlelap. Kami, para senior, berdiri di depan tenda. Nikolas kesenangan mendapatkan kesempatan pertamanya untuk ngamuk­-ngamuk ke anak kelas satu. ‘WOI! BANGUN! BANGUN! KELUAR!’ teriak Nikolas di depan tenda anak kelas satu.

Seketika itu pula dari tiap tenda adik­-adik kelas ber­hamburan keluar dengan panik. Ada yang jatuh terguling di depan tenda. Ada yang memakai sepatu kebalik. Ada yang memakai sebelah kanan sepatunya sendiri dan sebelah kiri sepatu temannya. Ada yang tiba-­tiba berlari, menaiki elang lalu pergi melawan naga6.

‘MHUAHAHA!’ Nikolas tertawa seperti kerasukan.

Gue sendiri hanya ngelihatin semuanya, sambil ter­ingat kembali pengalaman gue waktu masih kelas satu. Waktu itu proses membangunkan adik kelas lebih parah dari sekarang karena ada seorang senior membawa toa yang biasa digunakan buat demonstrasi.

‘BANGUN LO SEMUA!’ teriak kakak kelas gue wak­tu itu, menggunakan toa.

Suasana sama kacaunya, semua orang sibuk bersiap­-siap, gue sendiri bangun dengan kaget, lengkap dengan bekas liur yang masih ada di ujung bibir sebelah kanan.

Lihat selengkapnya