SEMUA cowok punya teman cewek yang sedekat apa pun mereka, tahu teman cewek itu gak bakalan jadi pacar. Teman gue yang ini, namanya Trisna. Kami sering ngobrol bareng, jalan bareng, pergi ke kondangan bareng. Kami juga samasama tahu, kami selamanya akan hanya jadi teman. Dia selalu bilang, ‘Gue gak mungkin cinta sama lo, selera gue, kan, tinggi.’ Biasanya gue jawab, ‘Iya.
Makasih, ya, untuk terusmenerus mengingatkan betapa jeleknya gue.’ Di selasela kejomloan gue pada tahun 2004, Trisna ngajak nonton film Harry Potter and The Prisoner of Azkaban. Malam itu gue jemput dia di depan rumahnya, di daerah Kemang. Gue menunggu dia di depan pagar rumah nya. Tak lama, Trisna muncul dengan baju seperti mau ke pesta dansa: hitam-hitam, anting besar, dengan full make up. Gue sampai bisa melihat partikel-partikel bedak yang dia pakai terlalu tebal sampai harus terbawa angin. Se ing dia masuk ke mobil, aroma parfum Vera Wang yang dia pakai langsung mengalahkan pengharum mobil di depan AC mobil gue yang sudah beberapa bulan tidak diganti. ‘
Parfum lo kenapa banyak amat, sih? Ini kalau gue tutup mata, gue berasa di Taman Bunga Mekarsari tahu gak,’ kata gue, setengah terbatuk. Gue lalu melanjutkan, ‘Ini kita sebenarnya mau ke prom night atau ke bioskop, ya?’
‘Lo gak usah ngeledek, deh,’ kata Trisna sambil memasang seat belt. ‘Kita mau nonton film Harry Potter paling baru! Ini momen istimewa buat gue!’
‘Harry Potter dari dalam layar juga gak bisa nyium bau lo kali,’ kata gue sambil membawa mobil keluar dari kompleks rumahnya.
Trisna memang tergilagila sama Harry Potter, semua blog-nya penuh dengan tulisan Harry Potter. Di buku ha riannya di SMA, di kolom ‘cita-cita’, Trisna menulis: ‘ pengin ketemu Harry Potter-ku untuk menyihirku menjadi gadisnya yang tercantik.’ Ya, gue pas baca itu juga muntah.
Di sepanjang perjalanan dari rumahnya ke Plaza Senayan, topik obrolan kami berganti dari Harry Potter menjadi masakan. Trisna mempromosikan masakan a ndalannya yang terbaru, makanan pencuci mulut dari Prancis yang dia kasih judul Mille-feuille ala Creme. Trisna emang jago masak, beda sama gue yang biasanya cuman masak Indomie ala Kematengan.
Trisna berkata, ‘Masak itu kayak cinta, lo salah nyam pur bahan makanan dikit, pasti asin rasanya. Begitulah.’
‘Apa hubungannya cinta sama asin? Itu mungkin pengandaian yang paling gak nyambung yang pernah gue dengar,’ kata gue.
‘Kenapa lo protes aja, sih?!’ Trisna sewot.
Ketika menaiki eskalator dari lantai dasar, Trisna berbicara tentang masakannya yang menjadi favorit bokapnya, liver and onions, hati dan bawang putih. Gue lagi-lagi cuman bisa manggut sambil berpikir makanan yang pernah gue masak buat Bokap palingan hanya nasi goreng, itu pun gue gak tega ngasih makan Bokap, takut dia tibatiba jatuh sakit setelah memakannya. Gue gak mau jadi anak durhaka.
Di sela antrean membeli tiket, Trisna memberi tahu tips masaknya, seperti: salmon fillet paling bagus dimasak dalam oven tingkat panas rendah, perlahan, dan dengan satu loyang air agar udara panasnya terasa sedikit lembap. Gak mau kalah, gue ngasih tahu tips masak satu satunya yang gue tahu: kalau abis masak, kompornya jangan lupa dimatiin.
Trisna baru berhenti berbicara soal memasak ketika tiket Harry Potter sudah terbeli. Gue bersandar, membelakangi konter camilan di bioskop, Trisna memandangi dua tiket, di tangan gue. Trisna bilang, ‘Lo tau gak, sih, gara-gara Harry Potter gue ngerasain patah hati terbesar gue.’
Gue mengambil pesanan yang barusan diberikan pramuniaga makanan. Setengah kerepotan membawa popcorn di kedua tangan, gue bertanya ke Trisna, ‘Siapa yang bikin lo patah hati?’
‘Dumbledore. Gara-gara dia mati, gue patah hati.’
‘Tunggu dulu, Dumbledore itu yang penyihir yang jenggotnya ubanan itu, kan?’
‘Iyeh. Yang punya Hogwarts itu loh.’
Gue berpikir keras. ‘Dan Hogwarts itu adalah…?’
Trisna sewot. ‘Sekolahnya Harry Potter! Gimana, sih, lo, ah! Kita, kan, mau nonton! Masa lo gak tahu Hogwarts itu apaan?!’
‘Ya, mana gue tahu? Sekolahnya Sarah Azhari aja gue gak hafal apalagi sekolahnya Harry Potter!’
Kami lalu berjalan ke arah studio bioskop.
‘Gue masih inget sakitnya gimana.’ Sambil ngemilin pop corn dari tangan gue, Trisna bercerita. ‘Gue baca buku Harry Potter and The Half-Blood Prince pada hari pertama buku itu terbit. Malem-malem, lembar demi lembar. Seru. Sampai tiba di halaman enam ratus enam…. Di situ gue baca kalau... Dumbledore mati.
Itu rasanya kayak ditinggalin pacar, Dik. Gue patah hati banget. Depresi berat. Terus gue minum, deh, tuh vodka yang selama ini gue umpetin di lemari, yang gue beli di Changi Airport pas terakhir kali gue ke Singapura. Gue minum segelas, dua gelas, lamalama gue minum sebanyak-banyaknya sambil nangis. Tiba-tiba blank. Semuan ya item. Bangun-bangun, gue ada di atas keset depan kamar Nyokap, buku Harry Potter di tangan kanan, sebotol vodka di tangan kiri.’
‘Aneh abis lo,’ kata gue.
‘Untung Nyokap gak tahu sama sekali kejadian itu.’ Trisna menarik napas panjang, lalu melanjutkan, ‘Patah hati banget gue hari itu.’
Gue membiarkan hening yang tidak enak lewat di antara kami, lalu gue bertanya, ‘Kalau patah hati terbesar lo garagara manusia, pernah? Maksud gue cowok yang hidup. Bukan karakter fiktif, rekaan kayak Dumbledore. Ada gak?’
‘Ada gak cowok yang bikin gue patah hati? Gitu maksudnya?’ tanya Trisna.
‘Iya,’ jawab gue, singkat.
Sampai kami masuk ke studio bioskop, Trisna tidak kunjung menjawab. Terlihat jelas dari kilatan mata nya, Trisna mengawang. Seperti orang yang sedang mencoba membuang sesuatu yang selama ini dia bawa. Be berapa kali Trisna membuka mulutnya, hendak berbicara, lalu menutupnya kembali. Sampai akhirnya kami duduk di kursi bioskop, Trisna masih diam saja.
‘Heh, lo gak apaapa?’ tanya gue.
Trisna mengangguk pelan, seolah berusaha me yakinkan dirinya sendiri, lalu pada akhirnya berkata, ‘Kita nonton aja, yuk. Ngobrolnya nanti aja.’
***
KEESOKAN harinya, gue melakukan rutinitas sehari-hari seperti biasanya. Sewaktu itu gue lagi magang jadi reporter di sebuah TV berita. Pekerjaan gue di sana cukup memakan waktu, shift-nya panjang dan gue hanya dapat jatah libur pada hari Rabu. Karena kurang tidur, pada saat jam kerja gue sering pura-pura ke toilet, masuk ke bilik, lalu tidur sejam di atas kloset dengan kepala nyandar ke belakang. Hal ini sempat menimbulkan gosip yang tidak enak, temantemen kantor pada bilang, ‘Si Dika beraknya lama banget, ya.’
Jam kerja gue selesai pukul 11 malam dan biasanya gue langsung nongkrong sendirian di warung depan kantor. Di bangku pojok kanan, gue makan satu buah roti cokelat keju, sambil membaca buku Woody Allen ber judul Mere Anarchy yang sedang gue coba selesaikan saat itu. Pada saat seperti ini gue juga baru bisa ngelihat handphone kembali setelah seharian di-silent. Dan hari itu, gue me nemukan 15 missed call dari Trisna.
Panik, gue menelepon balik. Begitu telepon diang kat, gue langsung bilang, ‘Gila.... Lima belas miskol? Ada gempa bumi? Pesawat jatuh? Dorce operasi kelamin lagi?’
‘Ini semua garagara lo!’ seru Trisna, tanpa basabasi lagi.
Gue tambah panik, ‘Hah? Garagara apa?!’
‘Pokoknya garagara elo!’
‘Ini ada apa, sih?!’ Gue mulai bingung, suara gue menjadi serius.
Suara Trisna terdengar pelan, dia bilang, ‘Lo kemaren nanyananya soal patah hati, dan, dan... gue jadi inget lagi sama....’
‘Sama apa?’
‘Pokoknya gue harus ketemu lo malem ini. Lo harus nyelametin gue sekarang. Lo harus bikin gue gak depresi lagi.’
‘Depresi?’ tanya gue. Gue memberikan sinyal hendak membayar kepada penjaga warung, lalu berkata kembali ke telepon. ‘Gue baru kelar, nih. Sebentar lagi gue cabut ke rumah lo.’
‘Lo ke sini sekarang juga!’ Trisna lalu menutup teleponnya.
Sejam kemudian, di lantai dua rumahnya, gue duduk berhadapan dengan Trisna. Dia duduk di atas kursi bean bag hijau. Badannya terlihat kecil, tenggelam di kursi empuk itu. Tangannya memainkan rambutnya. Sesekali Trisna menghela napas dengan tidak santai, seperti ban teng yang terkena serangan asma. Matanya terlihat beng kak, dia memakai kaus yang sedikit longgar, rambutnya acakacakan. Dari penampakannya, sepertinya dia belum mandi seharian ini.
Gue sendiri tidak kalah lusuh. Gue masih memakai pakaian dari kantor: jaket cokelat muda, di dalamnya ada kemeja putih dan dasi hitam, khas anak magang. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Bunyi detakan jam sesekali mengisi keheningan antara gue dan Trisna. Gue membuka percakapan dengan bertanya, ‘Jadi, lo kenapa, sih?’
‘Soal kemarin.’
‘Soal kemarin?’ tanya gue.
‘Soal patah hati. Pertanyaan lo bikin jadi inget lagi....’
‘Inget lagi sama…?’ tanya gue. ‘Eh by the way, ini gue gak ditawarin minum, nih?’
‘Bodo amat lo gak minum,’ kata Trisna. ‘Biar lo mati dehidrasi!’
‘Oke.’ Gue menelan ludah.