Koala Kumal

Gagas Media
Chapter #10

AKU KETEMU ORANG LAIN

PADA bulan Juni tahun 2003, gue berada di dalam pe­ sawat yang menunggu lepas landas. Gue menutup kepa­ la dengan capuchon berwarna hijau sta bilo, pandangan mata ke arah handphone yang digenggam tangan kanan. Di layar Nokia 6680 itu terlihat tulisan SMS:

‘I love you . Baik-baik di sana, ya.

Cepetan kabarin aku.’

Gue memandang tulisan tersebut, lalu menghela na­ pas panjang. Ada perasaan berat yang masih tersisa di dada. Ada sesuatu yang belum selesai.

‘Pak, boleh dimatikan handphone­-nya?’ tanya seorang pramugari.

Gue agak kaget dipanggil ‘Bapak’ karena umur gue waktu itu masih 18 tahun.

‘Iya, Mbak.’ Gue lalu mematikan handphone, me­ masukkannya ke ransel yang gue taruh di bawah kursi penumpang.

Pramugari lalu meminta perhatian seluruh penum­ pang. Gue menurunkan capuchon, menyimak apa yang pramugari ini hendak katakan. Pramugarinya ber­kata, ‘Kepada Bapak dan Ibu yang duduk di sebelah pintu darurat, boleh minta perhatiannya sebentar. Jika terdengar aba­aba evaquate evaquate, Anda kami minta untuk membuka pintu ini. Pastikan di luar tidak ada api, putar tuas ke arah dalam, lalu dorong pintunya ke luar.’

Gue selalu merasa instruksi ini percuma. Jika ter­ d engar aba­aba evaquate, gue yakin tidak akan sempat ngecek di luar ada api atau tidak, pasti gue udah sibuk menjerit­jerit tidak keruan mencoba membuka pintu darurat. Pramugarinya akan menahan gue sambil bilang, ‘Pak! Pastikan dulu di luar tidak ada api!’ Gue langsung teriak, ‘TAPI KITA SEMUA BAKAL MATI!’ Lalu gue lon­ cat ke luar, sambil teriak, ‘DAN GUE MASIH 18 TAHUN! JANGAN PANGGIL GUE BAPAK!’

Penerbangan dari Jakarta ke Bali memakan waktu satu jam, kemudian pesawat ini akan melanjutkan per­jalanan ke Adelaide selama enam jam. Tidak berapa lama setelah lepas landas, penumpang di sebelah gue men­colek. Dia bilang dalam bahasa Inggris, ‘Pesawatnya tadi serem, ya, goyang­goyang gitu.’

Gue agak kaget tiba-­tiba dicolek, menjawab seada­ nya, ‘Iya, goyang­goyang, ya.’

Dia lalu berkata, ‘Untungnya gak ada apa­apa. Agak pusing sedikit.’

Penumpang di sebelah gue ini, umurnya paling be­ berapa tahun lebih tua daripada gue. Mukanya terlihat blasteran: campuran orang Barat dengan orang Asia. Hi­ dungnya mancung, kayak orang Arab, dengan jenggot tipis-­tipis tumbuh di bawah dagunya yang mulai nyam­ bung ke arah kuping. Dia terlihat segar. Dia merapikan rambut cokelatnya yang terlihat jelas belum disisir.

Dia melanjutkan pembicaraan, ‘Tadi sebelum take off aku masih pakai headphone, loh.’

Gue tanya, ‘Uh, terus?’

‘Iya, kamu tahu, kan, kalau pesawatnya mau terbang, kita gak boleh nyalain benda elektronik, termasuk ini?’ Dia menunjukkan mp3 player berwarna hitam di tangan kanannya.

‘Iya, tahu.’

‘Tadi waktu kita terbang, aku masih nyalain mp3 player­nya,’ katanya pamer, seolah­olah yang dia lakukan pelanggaran hukum yang keren banget. Dia tersenyum jail seperti anak kecil yang akan bilang, ‘Kamu tahu gak, aku baru saja mem-­blender kucing tetangga, loh.’

‘Keren,’ kata gue, gak tahu mau ngomong apa lagi.

Dia melanjutkan, ‘Nanti pas landing aku mau nyalain mp3­nya lagi. You just watch.’

Gue mengangguk, berharap apa yang dia lakukan tidak akan membahayakan keselamatan satu pesawat ini.

‘Oh, ya, saya Zafran,’ kata dia, sambil menjulurkan tangannya.

‘Raditya.’ Gue membalas jabatannya.

Zafran langsung nyerocos, bercerita tentang dirinya sendiri.

Dia bilang dia baru saja pulang dari liburan di Ban dung, bertemu dengan teman­temanya. Dia lalu meng­ habiskan hampir seminggu di Jakarta, sekarang dia akan melanjutkan liburan ke Australia, dimulai dari A delaide. Dia bercerita tentang keluarganya (dia punya adik bung­su) dan peliharaannya (dia punya satu ekor kakaktua yang dia pelihara sejak masih kecil).

Lalu, di tengah-­tengah membicarakan kakaktua itu, ketika ia melihat gejala gue tidak tertarik dengan topik obrolannya, ia setengah berbisik ke gue, ‘Okay, I trust you on this, jangan bilang siapa­siapa, ya. Can you keep a secret?’

Sure ,’ kata gue.

‘Jadi, uh, aku ini sebenanya anaknya Sultan Brunei.’

‘Serius?’

‘Ya, bukannya anaknya langsung, sih, tapi masih saudara. Saudara jauh, sih.’

‘Saudaranya Sultan Brunei?’ tanya gue, lagi.

‘Yaaaaah.... Bisa dibilang bahkan kerabat yang jauh banget.’

Sampai saat ini gue ngerasa dia berbohong, tetapi gue biarkan saja dia bicara sekenanya. Seperti orang yang ingin bicara dan bicara, dia mengarang bebas ceritanya sendiri.

Setelah berbicara beberapa menit dan gue jawab hanya dengan ‘oh, iya’­‘oh, gitu’, dia lalu meminta izin untuk menonton dari layar entertainment di depan mata­ nya. Dia menonton cuplikan-­cuplikan dari Just For Laughs, tertawa geli sendiri. Zafran lalu memencet­mencet layar, mencari film lain untuk ditonton. Pilihan dia jatuh ke sebuah drama Korea.

Gue mulai bosan, mengeluarkan buku dari dalam tas. Bersamaan dengan itu gue juga mengeluarkan handphone. Untuk kesekian kalinya, gue membuka SMS terakhir yang gue terima tadi. Tertulis jelas dengan pixel rendah:

‘I love you .

Baik-baik di sana, ya.

Cepetan kabarin aku.’ Pengirimnya pacar gue sendiri. Pikiran gue langsung mengawang­awang, mozaik muka dia terpampang di lensa mata gue. Pandangan mendadak buyar, pikiran mendadak keruh.

Penerbangan malam ke Adelaide transit di Bali. Gue melihat kursi kosong di barisan kursi tengah pesawat, yang memungkinkan orang bisa tiduran di sana. Bebera­pa orang asing tiduran sampai ujung kakinya menjulur sedikit ke lorong pesawat, tidak nyadar badan me reka sebesar rahim Godzilla.

Gue berdiri. Zafran, melihat gue berdiri, langsung bertanya, ‘Mau ke mana?’

‘Kursi tengah. Aku mau tidur,’ jawab gue.

‘Udah, di sini aja, aku enggak nonton, deh,’ kata dia. Zafran melepaskan headphone yang ada di kupingnya. ‘Kita ngobrol aja.’

‘Enggak, kamu gak harus gitu....’ Belum sempat gue melanjutkan kalimat, gue melihat mata Zafran berkaca­ kaca. ‘Hey, are you crying ?’

‘Itu, film tadi,’ kata dia. Zafran menunjukkan ke arah layar display entertainment, yang sekarang sudah dia matikan. ‘Film tadi membuat aku sedih.’

Melihat ke arah Zafran yang matanya berkaca­ kaca, gue jadi teringat sama pacar sendiri. Pikiran gue buyar, teringat apa yang terjadi kemarin malam.

***

KEMARIN malam, gue melihat mata pacar yang ber­kaca­kaca. Saat itu kami duduk di sofa cokelat ruang tamu rumah gue. Nyokap gue lagi di dapur, menyiap­ kan makanan buat dia. Bokap belum pulang. Adik­-adik semuanya ada di lantai dua, mereka sedang menger jakan PR atau menonton televisi, entahlah. Saat ini gue hanya peduli sama pacar gue, kami duduk berdua. Tanpa suara.

Pada akhirnya, Pacar berkata pelan, ‘Aku baca di website mana gitu, katanya pasangan yang long distance relationship gak bakal berhasil, loh.’

Gue tidak menjawab, membenarkan gaya duduk. Gelisah. Gue lalu membuka suara, ‘Tapi Indonesia–Australia, kan, gak jauh­jauh amat, beda waktunya juga palingan, yah, empat jam.’

‘Kamu emang percaya kita bakal bisa LDR?’ tanya dia.

‘Yah,’ kata gue, menelan semua ragu yang sebenar­ nya terasa di dada. ‘Kita harus percaya, dong.’

‘Nanti kita komunikasinya gimana?’ tanya dia.

‘Kan, ada MSN Messenger ? Ada Yahoo Messenger?’

Zaman dulu gak seperti sekarang. Zaman sekarang orang long distance relationship bisa memakai Skype. Kalau misalnya kangen banget, bisa memakai Facetime, nge lihat mukanya nongol segede­gedenya di iPad. Dulu, kami hanya sebatas kalimat demi kalimat di komputer. Sebatas messenger .

Long distance zaman sekarang dimudahkan oleh social media; ada Facebook, Twitter, dan lain­lain. Kalau pengin tahu kabar pacar, ya, tinggal stalking timeline, cek timeline temannya, semua informasi tentang pacar kita yang lagi nun jauh pasti langsung kelihatan.

Dulu, cuma ada Friendster, mentok­mentok juga ngi­ rim testi ke pacar, di antara lautan alay yang foto dengan poni miring. BlackBerry aja belum ada. Pacaran jarak jauh memang menjadi momok. Cinta kita terhalang jarak, dan komunikasi jadi penting.

Beberapa menit lewat dengan hening yang tidak enak. Lalu pacar gue membuka suara, ‘Udah malem, an­ terin aku pulang, ya.’

Gue menjawab dengan anggukan.

Rumah dia di Bintaro, gue menyetir mobil Timor yang sering mogok. Jaraknya sekitar tiga puluh menit. Di tengah perjalanan, kami tidak ngobrol apa­-apa. Kita ber­dua tahu, hening yang tidak enak masih terasa pekat di udara.

‘Nih, jangan lupa martabaknya,’ kata gue.

Gue memberikan martabak yang gue belikan di te­ngah jalan, untuk orangtuanya. Gue selalu percaya ting­kat keseriusan seorang cowok bisa dilihat dari martabak apa yang dia bawa ke rumah pacarnya ketika ngapel. Martabak cokelat keju spesial: serius banget. Martabak cokelat: cukup serius. Kue cubit: sama sekali gak serius.

Pacar mengambil martabak dari tangan gue. Dia membuka pagar rumahnya dengan lesu, ketika hendak me­ nutupnya, ibu pacar gue muncul dari balik punggungnya.

‘Tante,’ kata gue, menyapa.

Lihat selengkapnya