BARU-baru ini Nyokap sering bertanya tentang istilah istilah anak muda yang dia gak ngerti. Pertamatama, dia nanya soal move on. Di dapur, dengan tampang bingung, Nyokap nanya ke gue yang sedang membuka kulkas, ‘Move on itu apaan, sih, Dik?’
‘Kayak harus pindah hati gitu, Ma,’ kata gue.
‘Oh, cari pacar baru?’ tanya Nyokap.
‘Ya, kirakira begitu, deh.’
‘Mama kira itu move on itu kayak roll on buat ketek terus bisa gerak sendiri, kayak yang dijual di acara tipi tipi pagi itu,’ kata Nyokap setengah tertawa.
‘Ide bisnis yang bagus, tapi bukan itu, Ma,’ kata gue.
Nyokap lalu menjelaskan pada zaman sekarang gampang untuk move on. Teknologi memudahkan anak anak muda zaman sekarang bertemu orang baru, yang ujung-ujungnya bertemu dengan pacar baru. Menurut Nyokap, pada zaman dia dulu, ketemu orang baru sangat terbatas: kalau enggak di sekolah, di kampus, ya, di tempat kerja. ‘Zaman sekarang,’ kata Nyokap. ‘Modal internetan doang juga bisa punya pacar dari Inggris, ya, Dik.’
Gue mengangguk setuju.
Sewaktu sedang menulis buku ini, di tengah ruang keluarga, Nyokap lagilagi bertanya kepada gue. Dia duduk di sofa di sebelah gue yang sedang asyik mengetik. Sambil menonton FTV, dengan brownies Bandung di sela mulutnya, Nyokap bertanya, ‘Kalau kecengan itu maksud nya anak katak, kan, Dik?’
‘Bukan, itu kecebong,’ kata gue, curiga Nyokap ngajak gue main plesetan.
‘Masa, sih?’ tanya Nyokap. Dia lalu tertawa sebentar, lalu melanjutkan bicara, ‘Tadinya Mama pikir “Kecengan gue bagus” itu artinya kecebong peliharaan gue bagus, loh!’
‘Ma, pertamatama, mana ada orang yang melihara kecebong? Kedua, kalau pun ada, gak mungkin juga dia pamerin ke orang lain terus bilang kecebongnya bagus. Ya, kan?’ tanya gue.
‘Jadi apa, dong?’
‘Kecengan itu gebetan. Gebetan itu kayak orang yang kita suka.’
‘Mama tahu artinya gebetan, jangan meremehkan orang tua kamu, ya.’
‘Iya, kan cuman mau ngasih tahu,’ kata gue sambil mengelus dada.
‘Kayak Edgar, adek kamu, tuh. Dia gebetan banyak orang. Banyak yang naksir.’ Edgar adalah adik gue yang baru saja masuk SMA.
‘Oh, ya?’ Gue memandang Nyokap dari balik laptop. Siapa yang memperebutkan dia di sekolah? Ibu perpus atau ibu kantin?’
‘Kamu kenapa tega banget, sih, sama adek kamu?!’
‘Iya, maap,’ kata gue, takut digebuk pake panci.
‘Serius, Dika, dia sekarang yang naksir banyak banget. Kamu aja kalah. Kenapa, ya, dia gampang banget di taksir. Mama jadi takut deh....’
‘Takut apa?’
‘Takut dia bikin patah hati banyak orang.’
‘Kalau gak patah hati, gak belajar kali, Ma,’ kata gue santai. Gue meninggalkan Nyokap, melanjutkan me nu lis di kamar. Pembicaraan tersebut membuat berpikir , buku terbaru gue temanya itu: patah hati dan halhal yang ber kaitan dengan itu.
***
BUKU ini pun ditulis, bab demi bab bicara tentang patah hati. Bab Ada Jangwe di Kepalaku bicara tentang patah hati terhadap persahabatan, bab Lebih Seram dari Jurit Malam bicara tentang tanpa sadar membuat orang patah hati, sampai pada bab Perempuan Tanpa Nama bicara tentang patah hati pada orang yang bahkan kita belum kenal. Bab demi bab gue tulis, dan gue mulai mengingat kembali apa yang gue tahu soal patah hati.
Seorang senior gue di SMA pernah bilang, patah hati itu seperti serial anime Dragon Ball. Setiap kali Son Goku, jagoannya, kalah dari musuhnya, dia akan kembali lagi jauh lebih kuat. Patah hati seharusnya seperti itu, dari setiap kekecewaan, kita akan makin kuat dalam menghadapi problem percintaan berikutnya. Tapi kenyataannya, banyak orang yang sehabis patah hati malah jadi tambah galau. Mukanya tambah bengkok, bibirnya manyun ke dalam, matanya tambah bengkak. Orang-orang kayak gini setiap mendung datang nempelin muka ke jendela sambil terisak bilang, ‘Kenapa kamu jahat?’
Dalam perjalanan hidup sejauh ini, gue udah sering ngelihat orang patah hati. Ada teman gue, cewek, yang lagi makan Indomie di kampusnya, ditelepon oleh pacarnya. Dia diputusin lewat telepon. Saat itu juga dia langsung pergi ke rumah mantannya. Di pinggir jalan Rawamangun, Jakarta Timur, dia teriak-teriak sambil bawa botol sambal, ‘Kamu pasti akan menyesal! Kamu pasti akan menyesal!’ Ya, saking buru-burunya pergi, sambal Indomie-nya juga terbawa.
Ada teman yang lain, cowok, sewaktu pacaran dia ngasih ceweknya laptop, bayarin keanggotaan Celebrity Fitness, bahkan sampai membelikan tas-tas mahal. Sewaktu mereka putus, si cowok ini minta semua barangnya dibalikin. Entah dendam atau pelit, gue gak ngerti.
Lain lagi tingkah teman gue, seorang cowok penulis skenario film layar lebar. Ketika putus, dia minta semua surat cinta yang dia tulis untuk pacarnya dibalikin. Gue sempat nanya ke dia, ‘Lo kenapa, sih, harus minta surat cinta yang lo kirimin itu?’ Dia bilang dengan santai, ‘Supaya kalau gue punya gebetan baru, gue bisa ngasih dia surat cinta yang gue tulis itu. Tinggal namanya aja yang diganti.’ Masuk akal.
Pito, teman SMA gue, adalah orang yang semasa SMA selalu ditolakin sama gebetannya. Bukannya sedih, dia malah menjadikan rasa pahit itu sebagai motivasi hidup. Gue ingat, pada suatu siang di kantin sekolah, Pito bilang ke gue, ‘Gue barusan ditolak sama Febby.’
‘Dia bilang apa?’ tanya gue, sambil memakan ayam panggang.
‘Dia gak bilang apaapa,’ kata Pito.
‘Diam aja?’ tanya gue. ‘Ya, baguslah, setidaknya dia gak ngomong apaapa yang nyakitin.’
‘Dia gak ngomong apaapa, tapi dia ngasih gue cer min,’ kata Pito. ‘Kayaknya gue disuruh ngaca. Gue di suruh sadar diri, bahwa gue gak pantes buat dia.’
‘Buset. Itu sakit, sih,’ kata gue.
‘Sakit banget.’ Pito menghela napas panjang, sambil mengurut dadanya. ‘Lo tahu apa yang gue bakal lakuin?’
‘Apa?’
‘Gue bakalan sukses, Dik. Gue bakalan belajar keras, gue bakal masuk universitas bagus, dan gue bakal punya pekerjaan yang hebat. Gue bakal ngebuat semua cewek yang dulu nolak gue jadi menyesal. Gue pengin lima belas tahun lagi, sewaktu mereka lagi nonton TV, mereka bakal nemuin gue lagi diwawancara dan mereka bakal bilang, “Itu dulu cowok yang gue tolak, gue menyesal, gue mau mati aja, ah. ” Gitu, Dik.’ Mata Pito berkacakaca dengan semangat tinggi.
‘Mudah-mudahan aja berhasil, deh.’