Nggak ada yang bisa gue lakuin liburan semester kali ini. Kita batal ke Thailand dan gue nggak punya cukup uang untuk ngetrip sendirian. Kondisi Kak Ara nggak parah, tapi orang tuanya bilang kalau dia harus stay di rumah, begitu pula Jen. Ken punya kegiatan liburan yang padat banget, mulai dari kelas bahasa asing sampai latihan tinju tiap sore. Win milih buat sibuk sama usaha penginapan yang baru dibangunnya. Don? Gue nggak mau kalau harus liburan berdua bareng dia, bukannya liburan, gue malah babysitting. Liburan kali ini gue berakhir di rumah keluarga San. Gue cukup sering nginep karena dia punya anggota keluarga yang hangat dan cepat banget akrab sama teman anak-anaknya. Gue udah berasa anak angkat dalam keluarga ini.
“Eh, keluar, yuk,” ajak Kak Ai, kakak tertua San.
Sore ini rumah San penuh sama anggota keluarga besarnya. Mereka memang cukup sering ngumpul bareng tanpa harus ada sesuatu untuk dirayain. Seharian gue cuma di dalam kamar Kak Ai, takut ganggu. Tapi sekarang gue malah diajakin keluar.
“Nggak ah, Kak. Belum mandi nih.”
Kak Ai malah narik gue, “Nggak apa-apa. Ada yang mau kenalan sama lo.”
Dengan tampilan kayak gembel dan muka kusam, gue keluar kamar. Di depan pintu ada cowok ganteng, rapi, dan wangi. Kebanting deh harga gue. Dia senyum ke gue.
“Ini yang namanya Ren?” anjir, suaranya bikin gue merinding. Suaranya berat khas bapak-bapak.
Gue ngangguk. Terus bengong. Masih menikmati keindahan di depan mata.
“Ren, ini Zion, saudara jauh gue. Zi, ini Renita, temen San yang gue ceritain.”
“Renita?” tanyanya sambil menaikkan alis.
“Ren aja, Kak,” kata gue sok malu-malu. Salah tingkah ditatap cowok seganteng dia. “Kak Ai ngapain cerita tentang aku?”
Cewek yang gue tanya itu menyilangkan tangannya di depan dada, “Gue mau comblangin lo sama dia.”
Gue nyaris pingsan mendadak mendengar kakak sahabat gue itu ngomong dengan entengnya. Gue yang butiran debu mau dicomblangin sama berlian kayak dia? Yakali dia mau, kalau gue sih mau.
“Gue udah dengar beberapa hal tentang lo dari Ai,” kata Zion.
Gue membelalakkan mata, berharap yang diceritain sama Kak Ai bukan gue yang jarang mandi atau gue yang nggak tahu diri menganggap rumah San kayak rumah sendiri. “Apa aja?”
“Lumayan banyak.” Kenapa dia bertele-tele sih?
“Ya, apa?” gue perlu tahu dia udah tahu apa aja tentang gue. Nggak adil dong kalau cuma dia yang tahu tentang gue, tapi gue nggak tahu apa-apa tentang dia.
“Udah, mending duduk dulu. Ngapain berdiri di depan pintu gini,” kata Kak Ai menginterupsi.
***
“Siapa sih dia?” sengit Jen di seberang sana.
Kami berenam lagi telponan. Malam setelah gue kenal Zion, gue disidang sama San dan empat bocah ini. San juga nggak lupa menegur kakaknya karena udah seenaknya ngenalin gue sama cowok. Gue nggak ngerti kenapa San marah sampai akhirnya dia cerita.
“Saudara gue. Dia udah punya pacar tau,” jawab San.