Koev Halev

Cindy Callysta
Chapter #2

s a t u

"Ca, gerakanmu kecepetan. Ulang."

Aku menghela nafas. Tanganku membentuk isyarat maaf, merasa tidak enak kepada teman - temanku yang sudah dibanjiri keringat. Teman - temanku hanya tersenyum maklum. Kami semua kembali ke formasi masing - masing.

"Five six seven eight one two, STOP."

Kami semua terdiam di posisi kami sekarang. Mata kami fokus menatap kaca yang berada di depan kami.

"Hani, tangannya naik lagi kurang lebih 10 derajat."

Aku menatap Hani yang dengan buru - buru memperbaiki. Wajah anak itu sudah semerah tomat, nafasnya menjadi kasar, mungkin si anak baru kelelahan mengikuti rutinitas yang kami lakukan ini.

"Oke, ulang ya. Kakak pakai lagunya, ya."

Kak Grace berjalan ke pojok ruangan untuk menyalakan musiknya. Kemudian Ia berdiri disana, memperhatikan sambil mengunyah sebuah permen karet.

"FIVE SIX SEVEN EIGHT, ..."

Badan kami bergerak mengikuti irama, tidak lupa melatih ekspresi yang harus kami perlihatkan nanti.

"POWERNYA DIKENCENGIN." Teriakan Kak Grace membuat kami menari semakin keras. Lincah namun harus berpower, power yang dikeluarkan tidak boleh over ataupun kurang.

Ketika lagu selesai, Kak Grace bertepuk tangan. Kami semua langsung tiduran di atas lantai, tidak peduli mau kotor atau tidak. Kami semua mengatur nafas kami sembari tersenyum. Jika Kak Grace sudah bertepuk tangan berarti ekspektasinya sudah tercapai.

"Good job, guys. Gini dong setiap latihan, gua jadi seneng liatnya." Ucap Kak Grace sambil terkekeh. Kami hanya mengangkat jempol karena belum selesai mengatur nafas kami.

Omong - omong, namaku Isabella Clairine tetapi kalian bisa memanggilku Icha. Umurku 15 tahun dan sedang duduk di bangku kelas 11. Aku lahir dari seorang ayah yang bekerja sebagai pengusaha ternama dan ibu yang bekerja sebagai seorang dokter spesialis saraf. Karena aku anak semata wayang, aku dituntut menjadi apa yang mereka mau, yakni seorang dokter. Sayangnya aku diwarisi gen keras kepala dari ibuku, maka aku akan menentang sekeras mungkin agar aku bisa menjadi seorang penari. Latihan menari ini tidak pernah diketahui oleh kedua orang tuaku karena mereka sangatlah sibuk, maka akan kumanfaatkan waktu sibuk mereka sebaik mungkin.

"10 menit lagi evaluasi, ya. Yang mau jajan, dibolehin."

Aku berdiri kemudian pergi ke pojok ruangan dimana seluruh tas kami tergeletak berserakan. Aku mengambil dompet beningku kemudian mengalungkannya di leher, "Ada yang mau ikut jajan?"

"Nitip boleh ga, Ca?"

Aku menatap teman - temanku yang sedang nyengir ke arahku, "Yaudah, pada mau apa?"

"Cilok 5 ribu, Ca."

"Gua mau batagor aja ceban"

"Kayak biasa, Ca"

Aku menggumamkan pesanan mereka kemudian bertanya, "Ada lagi, ga? Kak Grace mau nitip apa, gak?"

"Enggak, Ca. Makasih."

Aku mengangguk kemudian melangkahkan kakiku keluar dari bangunan ini. Mataku menatap warung langganan kami yang berada di seberang.

"Mbok, es teh tawar satu sama air putih ya." Aku menaruh selembar uang 5 ribuan di atas tumpukan botol minuman seraya mengambil satu botol. "Saya tinggal dulu ya, mpok. Nanti saya balik lagi." Yang dibalas dengan acungan jempol dari Mbok Imah.

Mataku menatap sekeliling, hanya ada penjual siomay dan martabak. Aku berjalan menyusuri jalan hingga sampai di jalan besar, pas sekali di seberang jalan ada penjual cilok dan batagor.

"Bang ciloknya 5 ribu, ya." Aku membayarnya langsung kemudian pindah ke penjual di sebelahnya, "Bang batagornya ceban."

Saat aku menunggu tanpa sengaja mataku menatap pria yang berdiri di seberang jalan. Wajahnya sangat menarik perhatian karena Ia merupakan seorang bule. Bola matanya yang berwarna hazel mengarah ke arahku. Pakaiannya sedikit kotor dengan tas ransel di punggungnya. Sepertinya aku tidak asing dengan wajahnya, siapa ya?

"Neng? Ini pesananannya."

"Eh? Makasih, bang."

Aku berjalan sembari menenteng seplastik batagor dan segelas cilok, mataku kembali menatap mata hazel itu. Ku percepat langkahku sembari berdoa agar aku tidak diculik oleh orang asing. Dari ekor mataku, aku menangkap bahwa Ia mengikuti diriku.

"Mbok, udah belom?"

Mbok menyerahkan seplastik es teh dan sebotol air putih, "Makasih, mbok."

"Kok tumben masih latihan sampai jam segini, nduk?"

"Udah mau kompetisi, mbok. Duluan ya, mbok." Ujarku sambil tersenyum yang dibalas anggukan kecil dari si Mbok.

Saat aku berbalik badan, si cowok bule itu sedang menatapku di seberang jalan yang berarti berada di tepat pintu masuk. Aku menelan ludah, takut. Ku usir rasa takutku jauh - jauh kemudian berjalan santai sembari memberi senyum tipis kepada lelaki itu.

"Excuse me?"

Ah, sepertinya dia memanggilku. Aku berbalik badan, "Yes? What can i help you?"

Ia mengerjap - ngerjap matanya, "Bisakah kamu membantuku?"

Lihat selengkapnya