Riuh rendah tepuk tangan membahana di balairung LK Salju. Sang Ombak membawakan kidung yang indah. Sebenernya itu kidung biasa, tidak seperti kidung penciptaan yang dibawakan Ma Dinar. Tapi suaranya mampu menyamai kemampuan penyanyi legendaris itu. Dan semua yang mendengarkan Brinta Alun pasti terbawa ke alam kidung tersebut pertama ditulis.
Kidung itu dinyanyikan dengan sempurna. Seolah si Barya tidak mempunyai jiwa yang rusak. Semua tanpa ada masalah. Tetapi mata tidak pernah berbohong kalau didalamnya ada api yang nyaris padam. Api yang hanya bisa dikobarkan oleh Adis. Walau mulut tersenyum tetapi mata menyiratkan kesedihan.
Sang Ombak pun selesai menyanyikan kidung itu. Kidung yang dinamai Surga benar-benar sesuai dengan judulnya. Karena kidung itu telah membawa orang-orang untuk bernostalgia tentang para leluhur yang dulu tinggal di Surga. Sebuah kisah lampau yang epik.
Acara pun selesai dan semua orang mengucapkan selamat karena acara berlangsung sukses. Dasa menghampiri Padhes untuk megucapkan syukur di depannya.
"Syukur kepada Maha, acara berlangsung aman tanpa kendala yang berarti," lega Dasa. Tetapi nampaknya perasaan Dasa tidak sejalan dengan Padhes. Karena Sang Karang menganggap bahwa masih ada kekurangan dan seharusnya kita tidak mengucap syukur.
Dasa yang melihat raut wajah dari pimpinannya itu kemudian menjelaskan maksud syukurnya. "Sesungguhnya semua orang di acara ini sudah berusaha sekerasnya. Kalaupun memang masih ada kekurangan itu adalah hal biasa dan akan diperbaiki di kemudian hari."
Padhes merasa Bayangnya ini berusaha menenangkan, tetapi Padhes tidak pernah puas dengan hasil yang biasa. Tapi Padhes tahu semua orang sudah berusaha keras dan kadang memang keadaan di lapangan yang membuat hasil menjadi kurang. Dan kalau sudah keadaan di lapangan yang tidak bisa diubah lagi ya sudah kita harus bisa menerima itu semua.