Sastra menghadirkan apa yang sejarah tidak bisa menghadirkannya. Sejarah bercerita tentang apa yang terjadi di masa lalu, maka sastra bercerita tentang apa yang mungkin terjadi di masa lalu, kini, dan masa depan. Itulah he batnya sastra. Sastrawan ‘harusnya’ mempunyai licensy untuk mengungkap apa saja. Bukankah seorang pengarang menjadi tuhan bagi tokoh-tokoh ciptaannya? Ia membangun cerita menurut kehendaknya, menghidupkan tokoh, menyorot tokoh yang menurut pengarang menarik, dan mematikan tokoh yang menurutnya harus dibunuh. Sastra merupakan hasil imajinasi yang tinggi, pemahaman mendalam dan pengamatan yang cer mat serta pengalaman pribadi yang diramu padu dalam bahasa yang memenuhi estetika dan etika dalam kebebasan yang jelas dan terbatas.
Cerita pendek sebagai salah satu genre sastra, kadang di anggap lebih mudah menuliskannya dibanding puisi, drama atau novel. Padahal menulis cerita pendek membutuhkan kepiawai an dalam mengemas satu fragmen kehidupan yang dipadatkan dalam dunia kata yang lebih pendek.
Pengamatan, pemahaman, pengalaman dan imajinasi itulah yang dimunculkan oleh sebelas penulis dalam dua puluh cerita pendek. Nama-nama mereka sudah dikenal dengan pengalaman menulis yang cukup menggaram. Kumpulan cerpen ini menjadi menarik ketika dikemas dengan memasukkan warna-warna lokal dalam tradisi yang kadang memunculkan tragedi pada para pelaku budaya tradisi itu sendiri. Kisah-kisah yang biasa, bisa menjadi sangat menarik ketika dikemas dalam dunia kata dengan cara yang apik.
Cinta, pengkhianatan, dendam, amarah, pembunuhan, kelicikan, dan penipuan sering menjadi dasar tema cerita secara universal. Semua hal ini adalah masalah dasar manusia dari suku, agama, dan bangsa apa pun. Mereka yang tertindas atau menjadi korban selalu si lemah, seperti perempuan, anak-anak, atau mereka yang tidak memiliki posisi tawar dalam segala artian. Tragedi sebab tradisi yang berubah, atau tragedi karena tradisi yang dipertahankan dengan kukuh dalam melawan gugat an-gugatan modernisasi menjadi pengamatan banyak penulis ini. Bagaimana setiap konflik dikemas, bagaimana benturan-benturan itu dipaparkan, dan bagaimana pula hal-hal biasa tapi luput dari pengamatan kita, dimunculkan dengan menarik dalam warna lokal yang menarik perhatian.
Amati cerita pendek Benny Arnas (Lubuklinggau, Sumsel). Kita akan menemukan perbedaan budaya saat membaca cerpen ini. Ada daerah yang mengagungkan kehadiran anak perempuan karena dianggap akan lebih memperhatikan orangtua kelak bila sudah renta. Ada pula daerah yang lebih mengagungkan anak lelaki karena kekuatannya mencari nafkah bagi kehidupan dan dianggap akan menanggung kehidupan orangtuanya kelak.
Kedua hal ini sering memunculkan tragedi ketika kenyataan tidak sesuai harapan. Ketika anggapan (atau harapan?) agar anak perempuan kelak memberi perhatian, justru asyik dengan suami dan keluarganya sendiri, tragedi pun muncul seperti dalam cerpen Anak Ibu yang Kembali. Dalam cerpen keduanya, Tujuh, Benny memberi ruang bagi pembaca untuk berasosiasi lewat paparan cerita yang mendudukkan tukang tenung sama terhormatnya dengan Kades, Kadus, atau Camat. Barangkali benar terhormat, tetapi kita akan terpancing pula mempertanyakan tentang posisi mereka yang sama. “Apa yang sedang terjadi di masyarakat dalam memahami makna kehormatan dan ketakutan? Apa beda pejabat dan tukang tenung?” Apalagi kemudian pembaca dipancing dengan akhir cerita yang justru memancing logika dan membuat kita terperangah tentang maut yang datang, apakah sebagai sampainya ajal atau kematian akibat tenungankah?