Wak Anang ditujuh. Berita itu tak urung menggemparkan Talang Rejo. Bujang-bujang tanggung warung kopi, ibu-ibu di pasar inpres, tukang ojek-tukang ojek, menjadikan kema langan yang menimpa dukun termasyhur itu sebagai bahan percakapan.
“Berarti lupa orang-orang yang melihat tujuh terbang tu berseru tu-we-ge-pat-me-nam-juh!” Demikian pendapat mereka tentang tenung terbang yang mengenai sasaran itu.
Memang, biasanya tujuh yang, konon katanya, berbentuk bak roket emas sebesar botol Malaga, yang melesat rendah be berapa meter di atas atap-atap rumah penduduk itu tertangkap mata, maka demi menghindari tujuh itu mengenai sasaran, mereka harus berhitung satu sampai tujuh dengan sigap. Kata orang, apabila itu benar-benar dilakukan, bahkan tujuh itu dapat saja kembali ke pengirimnya: senjata makan tuan!
Sebenarnya perihal sesiapa yang ditujuh bukanlah sesuatu yang bisa merunyamkan bibir-bibir penduduk kampung itu. Tapi ..., yang ditujuh ini bukan orang sembarangan: Wak Anang!
Alahai, bagaimana mungkin ahli nujum itu kena tujum, dukun kena dukun, penujuh kena tujuh!
***
Sesiapa yang ditujuh biasanya adalah orang yang bermasalah dengan orang yang menujuhnya. Itulah Wak Anang, si tukang tujuh itu. Pastilah banyak penduduk yang tak senang padanya. Terutama orang-orang yang anggota keluarga atau temannya pernah—atau mungkin hanya merasa—jadi korban tujuhan nya.
Semuanya mati dengan keadaan yang beragam. Ada yang diawali muntah darah; ada yang tiba-tiba saja tercekat dengan salah satu sisi leher bak dibolongi panah enau; ada yang gagu tiba-tiba, atau juga dengan cara yang biasa saja, tapi diyakini juga kena tujuh.
Nah, yang terakhirlah yang menimpa Wak Anang. Tiada yang berbeda tampak pada diri lelaki legam itu. Wak Anang masih lahap makan. Masih minum seperti biasa. Tiada pantang an. Tapi kata Bi Sa’diah, istrinya yang tukang urut bertuah itu, pagi hari setelah kabar tujuh singgah di rumahnya, badan Wak Anang panas dingin saja.
Memang, katanya, banyak penduduk yang melihat tujuh itu melesat melangkahi Masjid Al-Falaq, warung pempek Mang Saim, dan akhirnya terjerembap hilang di atas atap rumah dukun yang disegani itu. Kabar-kabari yang berembus adalah: telah ada tukang tujuh baru di kampung itu. Tetapi, siapa tukang tujuh anyar itu dan sehebat apa tuahnya, masih sumir.
Nah, pada perkara inilah dugaan itu memusingkan. Me mang, orang-orang tua di Talang Rejo tahu bahwa tukang tujuh termasyhur di Lubuk Aman juga ada beberapa. Tapi sudah be berapa hari yang lalu, mereka semua meninggal di tengah malam sepulang dari sedekahan.
Saat itu, banyak orang yang menerka bahwa dukun-du kun itu termakan racun tebang, tetapi semua bungkam-redam ketika dengan jemawanya Wak Anang berkoar bahwa mereka ditujuh pada malam harinya. Orang-orang tak berhasrat me nanggapi apa-apa yang dikabarinya. Orang-orang hanya meng angguk ragu. Menyimpulkan dengan cepat: hebatnya kau, Wak Anang!
***
Syahdan, Wak Anang yang sudah murka sedari pagi ia ditujuh, mencak-mencak di dipannya. Menyuruh Bi Sa’diah dan anak-anaknya mencari tahu siapa tukang tujuh baru di Talang Rejo. Bi Sa’diah gulana saja. Anak-anaknya yang sudah bujang-gadis itu susah sekali dicari.