Terik matahari membuat wajah Neisius begitu bersinar. Keringatnya menetes bak kucuran air yang berada di dalam paralon. Hari ini Neisius baru saja pulang dari kota, ia tengah mengadu peruntungan untuk dapat hidup di kota demi keberlangsungan kehidupan keluarganya. Neisius merupakan sarjana ekonomi, perusahaan yang baru saja ia datangi bergerak di sektor teknologi, Neisius kala itu melihat berita lowongan di sebuah surat kabar yang ia beli di sudut kampus. Sebuah asa yang kecil untuk membangkitkan harapan besar, Neisius bergegas kembali ke rumah, ia akan segera mengemas barang-barangnya.
"Bagaimana kabarnya Nei?"
"Semua berjalan dengan baik bu..."
"Kau yakin akan pergi?"
Neisius terdiam, ia menundukan kepalanya. Neisius berusaha menghela nafasnya dalam-dalam.
"Aku sangat yakin..."
Ibu Neisius sedang tidak dalam kondisi yang sehat. Beberapa penyakit sudah menempel pada tubuh ibunya, Neisius sadar, pada keadaan seperti ini ia tidak sepatutnya untuk pergi meninggalkan Ibunya bersama Adik laki-lakinya. Namun, jika ia tidak segera memiliki pekerjaan, keluarganya akan terbebani oleh ekonomi yang akan beranjak kritis.
"Bu... Aku janji, aku akan menghubungimu dan Ob... Jika aku sempat, aku akan pulang sekali dalam satu pekan..."
"Tidak Nei... Tidak..."
"..."
"... Ibu tidak ingin mengganggu kegiatanmu nanti. Kau harus fokus dengan tanggung jawabmu nanti..."
"Aku mengerti bu, pastinya aku akan fokus dengan pekerjaanku nanti. Tapi, kau juga tanggung jawabku saat ini setelah Ayah pergi... Begitu juga dengan Ob."
"Kau sangat mirip dengan Ayahmu..."
Neisius mendadak memperhatikan bingaki foto yang terletak di atas meja. Ia memperhatikan ranum wajah Ayahnya yang belum lama ini pergi karena penyakit yang ia dapat dari hasil mengkonsumsi alkohol secara berlebihan. Sejak kejadian itu, Neisius merasa sangat benci sekali dengan alkohol yang bisa-bisanya merenggut nyawa Ayahnya.
"Kau tau bu... Aku sama sekali tidak mirip dengan Ayah..."
"..."
"Memang, fisikku sama bentuknya dengan Ayah... Tapi, sifat atau pun kebiasaan Ayah, tidak ada yang melekat dengan diriku..."
"Nei... Kau tidak sepatutnya membenci Ayahmu seperti itu..."
"Aku tidak membencinya bu, aku hanya tidak terima dengan kebiasannya yang buruk..."
"Ibu mengerti... Tapi kau harus memahami Ayahmu..."
"Saat itu, aku sudah dapat melihat sesuatu yang baik dan buruk bu. Aku bukan anak kecil seperti Ob. Aku mengerti, apa yang Ayah lakukan itu salah besar..."
"..."
"Sekarang... Kau lihat, sepeninggalan dirinya, kau harus bertanggung jawab atas keluarga ini... Kau harus bekerja keras, hingga pada akhirnya kesehatanmu yang menjadi sarana pertukarannya."
"Nei..."
"... Aku berjanji, mulai detik ini aku yang akan mengambil tanggung jawab itu, bu... Aku akan merawatmu dan juga Ob, sama seperti dulu kau merawatku."
"... Ibu hanya minta kau untuk tidak meniru yang tadi menurutmu buruk dari Ayahmu..."