KOMA - Hidup dan Mati

Margo Budy Santoso
Chapter #7

Ilunae Lumen

"Ini semua hasil kerja kerasmu lun?"

Mata perempuan tua itu melirik seluruh bagian dalam rumah. Sementara di dalam ruangan lainnya terdapat laki-laki tua yang juga sedang menunjukan kekagumannya terhadap rumah baru Luna.

"Emmm... Iya, tapi semua ini masih harus dibayar secara bertahap..."

Laki-laki tua yang mendengar ucapan Luna segera keluar dari ruangan, dengan wajah yang masih menunjukan rasa kagum.

"Ayah tidak peduli ini masih harus dibayar secara bertahap atau kau membelinya secara kontan! Ayah sangat bangga padamu lun..."

"... Ayah terlalu berlebihan..."

"Ayahmu tidak berlebihan... Ia benar, bahkan bukan hanya Ayahmu, Ibu pun ikut berbangga dengan pencapainmu saat ini..."

Luna tersenyum gembira melihat senyum kedua orang tuanya. Itu semua adalah persembahan dari Luna untuk kerja keras orang tuanya yang sudah sangat berjasa terhadap dirinya.

Luna baru saja memulai pekerjaannya, namun ia memberanikan diri untuk membeli sebuah rumah secara bertahap. Saat ia ingin menuju kota untuk mengadu peruntungan, Luna telah berjanji kepada kedua orang tuanya untuk segera membawa mereka pergi ke kota.

Kehidupannya tidak cukup buruk, suasana perdesaan yang sejuk juga merupakan suasana yang cocok untuk kedua orang tua Luna yang sudah mulai memasuki usia senja. Namun, kenangan dan juga tragedi yang buruk, membuat Luna memutuskan untuk membawa pergi oeang tuanya dari bayangan itu.

Saat ini Luna adalah anak tunggal yang dimiliki oleh orang tuanya. Pada faktanya, Luna bukan benar-benar amak tunggal. Ia memiliki dua Kakak Perempuan, namun keduanya memiliki nasib yang sangat buruk kala itu, keduanya telah diperkosa oleh warga desa yang tidak bertanggung jawab, salah satu dari Kakak Luna dibunuh dan satunya lagi memutuskan untuk bunuh diri karena tidak kuat dengan gosip tetangga.

"... Kalian berdua akan aman disini..."

"Apa bedanya dengan rumah terdahulu? Ayah dan Ibumu juga sudah aman disana..."

"... Emm... Maksudku..."

Ibunya menghampiri Luna, ia memeluk dengan erat dalam hitungan beberapa detik. Kemudian kedua tangannya terpasang di kedua pundak Luna.

"... Iya... Kami mengerti..."

"... Syukurlah..."

Luna melepaskan nafasnya yang sempat tertahan. Ia merasakan sebuah kelegaan setelah menerima pelukan kasih sayang dari ibunya.

"... Sepertinya, kau memang sudah bertransformasi menjadi perempuan yang sangat hebat..."

"... Kau juga ikut-ikut berlebihan bu..."

"... Tidak Luna, Ibumu tidak berlebihan. Ia benar tentang dirimu. Kau sudah sangat dewasa sekarang..."

"... Tapi, Ibu berharap, kau akan terus bertumbuh dan bertumbuh. Ibu tidak ingin kau cukup berpuas diri dengan semua ini..."

Luna tertawa terbahak-bahak setelah mendengar ucapan kedua orang tuanya. Ia belum pernah tertawa selepas ini.

"... Aku tidak mengetahui apa pun, kalau kalian berdua sangat pandai dalam berkata-kata..."

"..."

"... Baiklah, baiknya kalian beristirahat. Kamarnya sudah kurapikan, kalian hanya tinggal beristirahat saja..."

Orang tuanya melepaskan senyum bangga ke arah Luna sembari berjalan menuju kamarnya. Luna membalas senyuman hangat itu dengan senyuman hangat lainnya.

Luna memastikan kedua orang tuanya sudah memasuki kamarnya. Ia berjalan menuju kamarnya. Luna membuka lebar-lebar jendela kamarnya saat itu, ia menatap keluar memperhatikan cahay bulan yang bersinar terang hingga memasuki sudut-sudut kota yang sempit.

Jauh di dalam perasaan Luna, ia sangat berharap untuk menghilangkan kenangan buruk itu pada orang tuanya. Namun ia melupakan dirinya, Luna jauh lebih lama meninggalkan tempat itu, namun, kerap kali malam datang ia merasakan sebuah ketakutan yang teramat dalam.

*Kreeeekkkk

"Aku kira kau sudah tertidur..."

"... Ohhh, Ibu... Harusnya aku yang memastikanmu sudah tertidur."

Ibu Luna mendekati Luna yang tengah memperhatikan bulan yang bersinar. Tanpa disadari, ia pun ikut terlarut menatap bulan tersebut bersama anaknya.

"... Apa ada yang kau pikirkan lun?"

"Tidak bu..."

Ibu Luna menjulurkan tangannya melewati belakang tubuh Luna. Ia merangkul Luna dan memaksakan kepala Luna untuk bersandar di pundaknya.

"Kakakmu yaa..."

"..."

"... Percayalah, mereka sudah tenang disana..."

"... Aku hanya... Sedikit takut, bu."

"... Ibu pikir, kau kuat. Kau bisa menjaga dirimu sendiri dengan kemampuanmu, bukankah itu alasanmu saat meminta izin padaku dan Ayahmu untuk mempelajari bela diri?"

"... Iya, hanya saja ini adalah ketakutan yang berbeda..."

"Tidak perlu merasa bersalah... Nasib kakakmu hanya tidak beruntung... Aku dan Ayahmu sudah melupakan itu... Jadi, kau tidak perlu membangkitkan ingatan itu kepada kami..."

"... Baik bu."

Lihat selengkapnya