1. Komala, namanya.
Saat itu musim penghujan. Hampir setiap sore, hujan deras mengguyur kota. Guntur tiba dirumah dengan wajah pucat dan gusar.
"Widya, kita harus berangkat ke Purwakarta. Sekarang!" katanya sambil terburu-buru mengganti baju dinasnya.
"Ada apa, Pak?" Tanya Widya, cemas.
"Adikku, gugur saat bertugas, Widya." Guntur terduduk di sisi ranjang, matanya menatap kosong ubin kamar.
"Innalillahi... Guruh, Pak?"
"Iya, Guruh. Siapa lagi adikku, Wid?" jawab Guntur sambil menatap nanar mata Widya.
"Bapak sabar, Bapak tenang dulu. Aku siapin keperluan kita untuk kesana dulu, ya." Kata Widya sambil bergegas mengambil koper untuk mengkemas beberapa baju miliknya dan Guntur.
***
Opel kapitan p2 melaju menerobos hujan.
"Perjalanan masih sangat jauh, Bapak tidur aja dulu." Kata Widya sambil membantu Guntur mengancingkan jaketnya.
"Kasian sekali adikku itu, Widya. Dia belum sempat bertemu dengan anaknya." kata Guntur dengan pandangan menerawang keluar kaca mobil. "Pelan sekali kamu bawa mobilnya, Run." keluh Guntur pada supirnya, Harun.
"Gak apa, pelan-pelan saja, Run. Hujan, bahaya kalau ngebut." Widya memperingatkan Harun yang mulai menginjak pedal gas. "Memangnya Lastri sudah melahirkan, Pak?"
"Pagi tadi aku dapat kabar gembira kelahiran keponakanku itu, Widya. Sorenya aku dapat kabar duka kematian ayahnya. Malang sekali keponakanku, Widya. Malang sekali nasib Guruh, Widya." Guntur memejamkan matanya lalu menyandarkan kepalanya di jok.
Widya diam. Jika sudah seperti ini, tandanya Guntur sudah tidak mau di ganggu apalagi di tanya-tanya. Widya hanya menepuk-nepuk lengan suaminya yang terpaut usia dua puluh tahun itu.