4. Jatuh cinta
Komala berjalan anggun menyusuri koridor sekolah, melewati ruang demi ruang yang riuh dengan gelak tawa siswa-siswi tunanetra yang tengah menunggu jam belajar dimulai. Hari ini adalah hari pertamanya bertugas sebagai guru.
Masa-masa sekolah dan kuliahnya sudah ia lewati dengan baik. Kini dia seorang Abdi Negara yang mendedikasikan dirinya untuk mengajar anak-anak berkebutuhan khusus di salah satu sekolah SLB Negeri di Jakarta.
“Selamat pagi,” sapa Komala sambil mengetuk pelan pintu yang bertuliskan Ruang Kepala Sekolah.
“Pagi,” seorang pria paruh baya dengan kaca mata yang menggantung di ujung hidungnya yang lancip, yang pastinya kepala sekolah disana, menatap tajam ke arah pintu. “Silahkan masuk,” Kata pria itu sambil beranjak menuju lemari persegi panjang yang terbuat dari mahogani dan mengambil sebuah map cokelat dari dalam lemari itu.
Komala masuk kedalam ruanganan lalu diam berdiri didepan meja kerja pria itu sambil tersenyum ramah.
“Duduk,” Kepala sekolah itu mempersilahkan Komala untuk duduk di sofa. Ada satu set kursi tamu yang di letakan tidak jauh dari posisi meja kerjanya. “Kamu Komala?” tanyanya sambil membaca berkas dalam map cokelat yang di pegangnya.
“Iya, Pak. Saya Komala, biasa di panggil Mala,” Komala bernajak mendekati kepala sekolah dan menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
Kepala sekolah itu menjabat tangan Komala dan dengan isyarat tangannya ia kembali mempersilahkan Komala untuk duduk. “Dengan kemampuan dan semua prestasi kamu, kamu bisa kaya dengan menjadi mentor sebuah sanggar seni terkemuka di Jakarta. Kenapa kamu memilih menjadi PNS, menjadi guru yang gajinya kecil?” tanyanya sambil turut duduk di sofa yang berhadapan dengan tempat Komala duduk.
“Sebaik-baiknya manusia adalah yang pling bermanfaat buat orang lain, Pak. Saya ingin seperti itu.” Jawab Komala penuh semangat.
Kepala sekolah itu mengangguk-anggukan kepalanya pelan. “Kenapa kamu milih untuk di tugaskan di sini? Padahal kamu bisa milih untuk di tempatkan di sekolah lain yang mungkin lebih dekat dengan rumahmu?” Tanyanya dengan tatapan menyelidik.
“Selain karena sekolah yang Bapak pimpin ini Sekolah Luar Biasa, sekolah yang Bapak pimpin ini selalu menjadi percontohan bagi sekolah SLB lain senusantara. Saya rasa, disini, saya punya peluang untuk lebih banyak memberi manfaat bagi orang lain.” Jawab Komala sambil tersenyum sopan.
Kepala sekolah itu kembali mengangguk-anggukan kepalanya. “Tapi kamu tidak ada dasar untuk mengajar di SLB, kamu lulusan IKIP, fakultas keguruan seni dan sastra. Apa yang bisa kamu ajakarkan kepada anak didik disini yang semua siswa dan siswinya tunanetra?”
Komala tersenyum. “Musik, lagu, puisi, menulis cerita. Saya rasa, apa yang akan saya ajarkan, bisa bermanfaat untuk mereka nantinya, Pak.” Jawab Komala. “Kemampuan bermusik, bernyanyi ataupun berkarya dalam tulisan, bisa menjadi media untuk mereka mencari nafkah nantinya, Pak.” Lanjutnya penuh semangat.