7. Sekeping puzzle
Suara ketukan di pintu kamar kost Komala terdengar gaduh. Komala meletakan reglet dan stylus ─penggaris berlubang dan paku penusuk kertas yang biasa digunakan tunanetra menulis Braille, di meja.
Wajah Bu Nadine tersenyum ramah begitu Komala membuka pintu kostnya. “Ada telepon untuk kamu,” kata Bu Nadine.
“Baik, Bu. Terimakasih. Sebentar saya kebawah.” Jawab Komala sopan.
Bu Nadine tersenyum, lalu beranjak meninggalkan kamar kost Komala.
Komala bergegas memakai celana training panjang. Dia tidak terbiasa keluar kamar dengan pakaian minim. Dengan tergesa, Komala turun ke lantai satu dan langsung menerobos masuk rumah Bu Nadien menuju sebuah ruangan yang terletak diantara dapur dan ruang tamu yang dijadikan perpustakaan pribadi bergaya retro oleh Bu Nadien. Tidak salah “Tante Nyetrik” menjadi julukan untuk Bu Nadien. Beliau suka hal-hal yang classic.
“Hallo,” sapa Komala begitu gagang telepon menyentuh daun telinga kanannya.
“Mala, ini Bapak.” Suara Guntur terdengar tegas walaupun di telepon.
“Iya, Pak. Bapak sama Mamah sehat?”
“Yah, ya… kami sehat. Kamu apa kabar, Nak?”
“Mala sehat, Pak.”
“Mala, kamu bisa pulang hari ini?” Nada suara Guntur terdengar resah dan terburu-buru.
“Ada apa, Pak?” tanya Komala, panik. “Mamah beneran sehat, kan, Pak?”
“Ini bukan soal Mamah, ini soal ibu kamu. Ibu kamu sakit… Ibumu ingin bertemu kamu. Katanya, itu permintaan terakhirnya.” kalimat Guntur diakhiri dengan helaan napas panjang.
Untuk sesaat, Komala tertegun. Kata “Ibu─wanita yang melahirkannya” terdengar asing baginya. Pernah beberapa kali sejak dia mengetahui bahwa Widya bukanlah ibu yang melahirkannya, Komala berharap ibu kandungnya itu akan tiba-tiba datang dan menjemputnya. Bukan karena Komala tidak bahagia bersama Guntur dan Widya, tapi setidaknya dia tidak akan merasa di buang oleh ibu kandungnya.
“Mala…” panggil Guntur dari balik telepon, suaranya terdengar lembut.
Suara Guntur yang lembut terdengar lirih di telinga Komala, Komala menghela napas. “Ibu ada disana, Pak?” tanyanya.
“Tidak. Ibumu di Purwakarta. Kalau kamu bisa pulang hari ini, kita bisa berangkat bersama kesana, besok.”
“Bapak berangkat besok?”
“Iya, kita berangkat besok.”
“Mala harus izin dulu ke sekolah, Pak. Mala berangkat langsung dari sini aja, gimana?”
“Yakin, kamu? tidak takut, kamu?” Nada suara Guntur terdengar khawatir.
Komala terkekeh. Guntur masih saja menganggapnya seperti anak kecil. “Mala udah gede, Pak.”
Guntur menghela napas. “Baiklah, catat alamatnya!”