Tiga orang anak kecil, pada pagi yang sejuk bermatahari sepenggalah, berlari-larian, berlomba-lomba mengejar angin menyusuri satu gang. Tawa khas anak-anak manusia itu riang terdengar memecah sejuk pagi. Tawa itu membawa kehangatan pertanda keakraban antara tiga saudara sepupu itu.
Masih ada senyum mengembang selintas dari sepasang bibir seorang perempuan demi melihat tingkah riang tiga keponakannya itu. Perempuan perawan itu sesekali berteriak mengingatkan tiga keponakannya agar tetap waspada berlari walau mereka bertiga dalam canda tawa.
"Iya, Bik," sahut satu dari tiga bersaudara itu. Dia tetap berlari dan memelesat terus paling depan mengejar angin yang membawa suara tawanya.
Tak berselang lama kemudian, Aini limbung tubuhnya tiba-tiba setelah menoleh wajah sang bibi yang berteriak.
"Caaa!" teriak lagi panik sang bibi. Segera dia mempercepat langkah sepersekian detik sesudah panik berteriak.
Panca pun sigap. Tubuhnya bergerak hendak menopang limbungnya tubuh Aini dengan kedua lengan bersiap untuk memeluk tubuh yang bergerak hilang arah terhuyung-huyung mendekat kepadanya. Aini singit.
Mendadak Kuja pun berhenti berlari lalu membiarkan angin pergi dan mengalahkannya serta membawa tawa mereka. Dia terpaku sesudah memalingkan tubuh.
Gang itu pun sejenak menjadi hening dan dingin.
"Ainiii!" seru Kuja panik, begitu pula, "Pancaaa!" teriak Wina.
Hening berjeda.
Bruk!
"Aduh!"