Komidi Putar Witarsih

Andriyana
Chapter #3

Manzilah II

Inilah yang menyebabkan Kuja terperangah terkagum-kagum.

Sudah pasti, bila waktu liburan sekolah tiba, Kuja bakal berkunjung ke rumah nenek di Bandung. Seperti Sabtu siang waktu itu, Kuja bertingkah rusuh meminta mama-papa dia untuk segera pergi membawanya ke Bandung.

Dalam perjalanan menuju kediaman nenek, Kuja tak henti bertingkah perangai sesuai usianya yang baru saja lepas dari sekolah TK. Dia meminta sang mama mengumpulkan semua mainannya di dalam satu tas ransel. Hampir semua mainan dia bawa.

Sepanjang perjalanan mobil yang dikemudikan sang ayah, Kuja mulai bermain. Karena mulai memasuki kawasan Puncak yang hampir rutin hujan dan menyisakan kabut di jalan yang berkelak-kelok, kendaraan mulai berkeringat dingin bodinya. Hati-hati sang ayah mengemudikan kendaraan tersebut.

Sementara itu, Kuja bergerak tak henti kedua tangannya. Dengan memilah-milah mana mainan seturut hatinya suka, dia keluarkan dari tas ransel, dia mainkan. Sesekali sang mama menoleh tersenyum ke belakang, melihat Kuja sudah diliputi mainannya yang sudah berantakan di atas kursi mobil bagian belakang. Menghampar tak keruan dan berantakan mainan itu.

Mobil yang dikemudikan oleh ayah Kuja terus melaju menuju Bandung.

ﬞ¬—ﬞ

Pohon kelengkeng besar dan rimbun daunnya mulai berbuah. Rerimbunan dedaun pohon itu menaungi sebidang tanah persis di depan rumah khas Sunda. Sebidang tanah yang sering kali digunakan sebagai tempat bermain anak-anak beragam usia dengan beragam permainan. Terkadang sebidang tanah itu dijadikan tempat untuk bermain kelereng. Pada lain waktu, sebidang tanah itu dijadikan sebagai tempat anak-anak perempuan bermain lompat tali berbahan dari karet-karet gelang. Pada lain waktu lagi, sebidang tanah itu digunakan sebagai tempat bermain galasin, petak umpet, masak-masakan—imajinasi dari sekumpulan anak-anak perempuan kecil yang duduk bersimpuh—dengan dedaun kelengkeng yang luruh lalu mereka punguti adalah bahan sayur mayur untuk mereka masak. Bahkan, pucuk-pucuk tetumbuhan berupa warna pun tak luput dijadikan bahan masak-masakan imajinasi dari sekumpulan mereka yang duduk bersimpuh di atas sebidang tanah itu. Namun Sabtu sore itu, untuk sementara, sebidang tanah tersebut dijadikan sebagai tempat parkir mobil. Mobil siapa lagi kalau bukan mobil yang ditumpangi Kuja yang mulai berjalan sambil menggendong tas ransel di punggung? Langkah-langkah kaki mungil Kuja menapaki tanah. Riang dia bergegas menuju sisi luar rumah persegi panjang.

"Nek ..., Nenek," Kuja memanggil. "Nenek, Neeeneeek."

Sisi luar rumah persegi panjang itu cukup luas, bertembok sepinggang orang dewasa dengan warna hijau yang berpadu dengan bilik bambu berwarna cokelat. Sisi luar rumah persegi panjang itu menjadi sasaran mondar-mandir Kuja mencari-cari sang nenek.

"Coba kamu ke dapur, Ja. Pintu dapur biasanya enggak terkunci," saran sang mama.

"Ujaaa ..., Ujaaa," suara panggilan khas perempuan sebaya Kuja memanggil-manggil. Segera Aini melepaskan diri dari genggaman tangan ayahnya lalu berlari-lari kecil menghampiri Kuja.

"Kumaha kabarna, Kang, sae [bagaimana kabarnya, Kak, sehat]?" tanya ayah dari Aini menyapa kakak kandungnya yang baru saja menutup pintu mobil.

Yang ditanya menoleh sekejap lalu semringah dan menganjurkan tangan,

"Sae [sehat], alhamdulillah.

"Jaaa, Kujaaa," panggil sang ayah. "Salim dulu sama mamang. Jaaa ...."

Sambil bergandengan tangan dengan Aini, Kuja dan Aini melangkah menghampiri ayah dari Aini. Sopan dia meraih telapak tangan kanan sang paman, diciumnya punggung tangan sang paman dan menyisakan sedikit lelehan ingus. Aini pun mencium punggung tangan uak.

Sang paman tersenyum bersama tangan kiri dia mengusap-usap kepala Kuja, "Kuja sepertinya kena flu, Kang." Saputangan menyeka ingus milik Kuja yang melekat lengket di punggung tangannya.

"Ah, masak, sih?" tanya ibu dari Kuja usai bersalaman dengan adik sang suami. Kemudian, dia mengamati wajah Kuja yang kembali mondar-mandir di teras Rumah Hijau bersama Aini serta memanggil-manggil sang nenek.

"Ayo masuk. Mimih biasanya jam segini mah ada di kamar." Ayah dari Aini berkata sekaligus membantu membawakan tas-tas yang tali tasnya sudah digenggam oleh kedua tangannya.

Mereka bertiga pun melangkah masuk menuju rumah khas Sunda itu melalui pintu dapur.

ﬞ¬—ﬞ

Waktu liburan sekolah dijadikan semacam ketentuan tak tertulis bagi anggota keluarga besar dari keturunan Charniat Katja Wi untuk berkumpul sekaligus temu kangen.

Kuja, salah satu cicit dari Charniat, ternyata benar-benar diserang flu. Sabtu malam setibanya mereka di rumah anak perempuan dari Charniat, Kuja pun berbaringlah di atas tempat tidur yang letaknya masih seruangan dengan ruang makan rumah khas Sunda itu.

Sementara itu di ruang makan bermeja makan bundar berdiameter kurang lebih sekitar seratus delapan puluh sentimeter berkursi delapan, terlihat kesibukan dari Wina, cucu dari Charniat, yang mondar-mandir dari dapur—ruang makan, ruang makan—dapur, mempersiapkan hidangan makan malam bersama. Dia dibantu oleh istri dari Jyay An, dan istri dari Ruchiat An.

Belum ada yang mengetahui jika Kuja terbaring demam. Yang mereka tahu, anak lelaki itu hanya tertidur akibat lelah.

Kesibukan juga terlihat dari ruang tengah. Kesibukan berbincang melepas kangen antara dua orang kakak beradik. Selingan berupa senyum hingga bahak lepas dari mulut Ruchiat An dan Jyay An saat mereka sibuk berbincang. Seakan-akan dinginnya udara yang meliputi ruang tengah tak digubris oleh mereka berdua yang bermantel tebal. Mereka terus berbincang-bincang penuh kehangatan, keakraban antara sesama keturunan dari Charniat Katja Wi.

"Kakek itu kira-kira berapa umurnya sekarang, ya?"

"Umurnya? Umur pastinya?"

"Ah kau itu, An. Masa-masa dulu sewaktu kakek lahir belum ada catatan sipil," celoteh sang kakak.

Mereka berdua pun tertawa.

Lalu Ruchiat, sang kakak, lanjut berbicara, "Mungkin Kang Surya yang tahu, atau Mimih."

"Oiya ...," Jyay menukas, "Kang Surya sudah dikasih kabar soal arisan keluarga ini?"

"Sudah. Aku yang kasih kabar via telepon."

"Bisa hadir?"

"Untuk arisan kali ini, keluarga Kakang Surya tidak bisa datang."

Lihat selengkapnya