Sudah tak terhitung banyaknya Kuja, Aini, Panca, dan Wina, bolak-balik menyeberangi tiga jalur rel kereta api dekat stasiun kecil di seberang Rumah Hijau. Sudah tak terhitung banyaknya pula Kuja terkagum-kagum setiap kali melihat kereta api melintas, yang tak seberapa jauh letaknya dari Rumah Hijau, semenjak dikabulkan permintaan polosnya. Bila saja ditelaah oleh nalar, kemungkinan permintaan Kuja bakal menjadi kenyataan boleh jadi kecil sekali probabilitasnya. Namun, Si Empunya semesta selalu memiliki cara tak ternyana untuk memaujudkan sesuatu permintaan. Hikmah yang dapat dipetik dari apa yang pernah dialami oleh Kuja adalah setiap kali kita memohon kepada Yang di Atas, haruslah bulat penuh keyakinan dalam hati ketika memohonnya berikut: memohonlah dengan kepolosan.
Kepolosan Kuja, Aini, juga Panca, seiring berputarnya bumi beserta benda-benda langit lain dalam manzilahnya, makin berkurang. Namun bak neraca, kepolosan mereka bertiga diimbangi dengan kesadaran yang makin bertumbuh selaras dengan pertumbuhan fisik mereka.
Pada lain manzilah, tak pelak dan niscaya pula seiring waktu, beberapa anggota keluarga besar Charniat Katja Wi makin merenta, menua, dan berpulang. Satu dari anggota keluarga Charniat Katja Wi yang berpulang ke haribaan-Nya adalah Tembur Alam, kakek yang gagah, seorang veteran perang kemerdekaan, serta memiliki cucu di antaranya Panca, Kuja, dan Aini. Selain itu, cucu-cucu lainnya yang terhitung sudah dewasa seperti Dedi Surya dan beberapa lagi dari anak-anak Surya An, Ruchiat An, Jyay An.