Semenjak ditinggal Tembur Alam pergi, Wina menjadi satu-satunya obat bagi kesendirian Witarsih. Jika saja ditinggal pergi untuk sementara waktu, masihlah mungkin Witarsih mampu mengatasi kesulitan. Namun, Tembur Alam berpulang ke haribaan Pencipta, sebuah kenyataan yang niscaya terjadi dan dialami oleh semua makhluk di jagat. Kendati begitu, berkat ketelatenan Wina yang diniatkan untuk berkhidmat kepada ibunda, detak detik-detik waktu yang pada awalnya terasa berat dilalui oleh Witarsih, perlahan-lahan, hari demi hari, minggu demi minggu, dan bulan demi bulan, mampu dilaluinya bersama dengan si Bungsu.
Biar bagaimanapun, ingatan adalah anugerah serta tempat terbaik bagi kenangan. Terlebih-lebih bila dalam lintasan waktu bersama dengan Tembur Alam, Witarsih mengalami begitu banyak kenangan yang membekas dalam juga indah. Walaupun terkadang beberapa waktu dari kebersamaan mereka berdua mengalami peristiwa sedih dan duka, kemampuan mereka berdua untuk bertahan banyak menyisakan cerita hikmah tentang kehidupan.
Sering kali Wina mendengarkan Witarsih bercerita pahit-manisnya mahligai rumah tangga yang pernah dialaminya bersama Tembur Alam. Namun beberapa waktu belakangan ini, Witarsih mulai berani mengisahkan sebuah rahasia yang sudah puluhan tahun dia simpan, terkubur dalam di palung hatinya. Wina menjadi saksi yang mau tak mau mendengarkan apa yang keluar terucap dari bibir Witarsih.
Pada satu malam, Wina membawakan secangkir teh manis panas beserta penganan bagelen kesukaan Witarsih. Saat berada di kamar sang ibu, Wina melihat Witarsih duduk berselonjor di atas pembaringan. Punggungnya beralaskan bantal. Kelambu pembaringan berwarna putih mulai tampak kusam. Tirai kelambu terbuka pada satu sisi pembaringan yang letaknya berdampingan dengan lemari jati berukir. Cahaya lampu ruang kamar Witarsih berpendar tak seberapa terang. Tepat di sisi kiri pintu kamar Witarsih, ada dua kursi yang mengelilingi satu meja kayu bundar berdiameter enam puluh sentimeter. Witarsih begitu suka dengan bentuk bundar sebagai pengisi perabotan Rumah Hijau. Meja makan, bundar; meja ruang tamu, bundar; meja kamar, bundar. Kaca cermin, bingkai berukir untuk memajang rajutan hasil buah karya tangannya, juga berbentuk bundar.
Wina masuk dan meletakkan secangkir teh beserta sepiring bagelen di atas meja kamar sang ibu. Lalu, dia menyimpan nampan di bawah meja bundar yang memiliki satu alas.
"Kok bikin tehnya cuma satu cangkir, Win?"
Bokong Wina yang baru saja duduk beberapa saat lantas terangkat kembali. Wina tersenyum dan mengangguk sebagai tanda mengerti apa maksud sang ibu. Melangkahlah Wina menuju dapur.
Wina masuk kembali ke dalam kamar sembari membawa secangkir teh untuk dirinya sewaktu Witarsih sudah duduk nyaman. Tutup cangkir teh hangat Witarsih sudah terbuka dan tersisa tiga perempat cangkir lagi isinya selagi mulutnya mengunyah bagelen perlahan.
Setelah Wina duduk dan meletakkan teh miliknya di atas meja bundar bertaplak hijau, suasana kamar menjadi hening beberapa jenak diliputi remang cahaya kamar. Seketika dingin menyelusup masuk melalui jendela kamar yang terbuka sedikit. Lantas Wina melangkah mendekati, merapatkan dua daun jendela dan menyelotnya lalu kembali ke tempat duduknya semula. Dengan hampir bersamaan, Wina dan Witarsih memperbaiki letak syalnya agar sempurna menutupi leher masing-masing.
"Wina, malam ini kamu mau menemani Mimih di sini, kan?" tanya Witarsih memecah hening dalam kamarnya. "Ini malam Minggu, loh."
"Iya, Mih. Mimih enggak usah khawatir. Malam ini, Wina milik Mimih seorang," balas kata Wina seperti rayuan gombal orang yang lagi kasmaran sedang tersenyum tawar.
Mimih tertawa renyah meski pelan, "Ah, kamu...." Witarsih melambai-lambaikan telapak tangan kiri menepis udara dalam kamar yang masih lumayan dingin.
"Malam ini Mimih mau cerita apa lagi, Mih?"
Reda tawa Witarsih lantas berganti dengan sekali helaan napas yang cukup panjang. Sebagian bagelen yang berada di antara jemari tangan kanannya dia letakkan kembali ke atas piring. Dia bangkit lalu melangkah menuju lemari jati. Daun pintu kanan lemari berderit terbuka. Terdengar suara laci tertarik. Witarsih kemudian melangkah kembali ke tempat duduknya semula. Begitu pula lemari jati itu, kembali dalam keadaan tertutup seperti sediakala.
Witarsih menyodorkan secarik kertas, yang sudah dikeluarkannya terlebih dahulu dari amplop pembungkusnya, kepada Wina.
Wina beberapa saat tertegun. Sebuah kertas usang ada di hadapannya. Sejak SD hingga kuliah selama menggunakan buku tulis, kertas usang itu belum pernah sekalipun dia lihat.
"Bacalah," pinta Witarsih.
Wina menerima secarik kertas itu, membukanya lalu membaca apa yang tertera.