Sebuah mobil berjalan menanjak bergoyang-goyang menyelusup kabut. Pengemudi bersama satu penumpang dalam mobil itu terguncang-guncang badan akibat mengikuti irama empat roda mobil yang menginjak bongkahan batu yang kadang besar kadang kecil. Namun, terlihat raut wajah "menikmati" dari dua orang itu walau mereka lelah berkeringat sepulangnya mengirimkan barang pesanan dari Jakarta.
"Kade kade, tong ditincak, Kang. Bisi tijuralit [hati-hati, jangan diinjak, Kang. Nanti khawatir terguling]."
Awas mata sang sopir pada jelang waktu magrib. Dia menimpali kawan semobilnya dengan membelokkan setir, mencari jalan yang lebih landai meski menanjak.
Setelah lepas dari bongkahan batu cukup besar di atas jalan yang belumlah rata beraspal, kawan semobil si sopir agak mengendurkan tulang punggungnya. Perjalanan mereka ini adalah perjalanan rutin. Meskipun begitu, aral kadang menyelinap dalam perjalanan jika mata tak awas lalu lengah.
Suasana khas pedesaan sungguh kentara. Perbukitan seakan-akan ikut berjalan menemani perjalanan menanjak mobil itu kembali pulang ke desa. Terkadang ruas jalan mengantarai jurang dengan rumah-rumah panggung berbilik yang bersisian dengan rumah bertembok. Silih berganti para pemilik rumah yang ramah menyapa mereka berdua saat berpapasan.
"Tos ti Jakarta, Jang [dari Jakarta, Jang]?"
Mereka berdua pun ramah membalas sapa diiringi senyum.
Di belakang mereka, tegak Gunung Galunggung sedikit berbalut kabut seakan-akan memperhatikan mereka yang ramah bertegur sapa.
ﬞ¬—ﬞ
Perjalanan mereka lanjutkan kembali sesudah mampir untuk menunaikan Salat Magrib pada salah satu masjid yang berada di sisi jalan. Kelak-kelok jalan yang menanjak kadang menurun masih harus mereka tempuh untuk mencapai tujuan. Ruas jalan yang belum beraspal, berbatu dengan berbagai macam ukuran bercampur dengan pasir dan tanah merah, menjadikan sopir harus senantiasa awas untuk mengendalikan kendaraan.
Hampir setengah jam berlalu, tibalah mobil yang dikendarai oleh mereka pada satu persimpangan. Tujuan mereka tetap lurus menyusuri jalan, tetapi …, “Setop-setop-setop, Kang.” Seseorang turun dari boncengan motor yang berhenti dan melintang di jalan. Karena terhalang oleh motor melintang itu, mau tak mau si sopir menginjak dalam-dalam pedal rem kendaraannya.
Tampak jelas kelap-kelip di kejauhan beserta suara sayup-sayup tetabuhan terdengar. Kelap-kelip itu laksana kunang-kunang yang beterbangan beriringan. Begitu pula, tetabuhan yang sayup-sayup bertalu-talu terdengar tidak serta-merta membuat telinga enggan untuk mendengarnya. Bahkan, mereka berdua yang berada dalam kendaraan itu berusaha menajamkan pendengaran masing-masing. Hampir saja mereka berdua hendak berjoget di kursinya masing-masing walau urung. Mereka berdua pada akhirnya menyadari bahwa irama harmoni tetabuhan itu ternyata bukanlah dangdut maupun calung. Tetabuhan itu adalah irama harmonis yang mengiringi puja-puji kepada langit; pun membahana di sekitar bumi yang dilalui oleh iring-iringan tersebut. Puja-puji yang terdengar begitu syahdu, dan menyusup ke dalam hati serta mendorong mata untuk rintik menangis haru.
“Aya naon, Jang [ada apa, Jang]?” tanya si sopir.
“Eta, Kang [itu, Kang], Muharaman, pawai obor.”
Sontak mereka berdua melongokkan kepala dari jendela mobil yang terbuka, dari tempat masing-masing mereka terduduk.
“Eleuh-eleuh-eleuh, ‘ngoraian’ geuning [waaah, seperti ‘ular’ ya].”
“Komplit ti unggal kampung, katingalina [komplit dari setiap kampung, kelihatannya].”
“Muhun, Kang. Alhamdulillah. Tahun ie komplit sadayana mapai leumpang ka bale desa [iya, Kang. Alhamdulillah. Tahun ini semuanya komplit beriringan melangkah menuju balai desa],” kata orang yang disapa si Ujang.
Saat satu dari mereka berdua menengok ke belakang, ternyata arus jalanan yang terhenti juga sudah mengular dengan lima kendaraan berbagai ukuran.
“Sing sabar, nya. Da teu unggal poe ie kie teh [yang sabar, ya. Kan, tidak setiap hari ada hal seperti ini],” teriak si sopir kepada sopir yang ikut mengular di belakang kendaraannya dengan berlogat heureuy ‘bercanda’.
Saling sahut-menyahut heureuy pun terjadi ala gaya heureuy mereka yang diliputi rasa kebersamaan khas orang sekampung, sedesa, seketurunan.
Sepuluh—lima belas menit kemudian, iring-iringan pawai obor yang mengular itu melintas dan berbelok masuk ruas jalan setapak selebar dua setengah meter hendak menuju balai desa. Beduk masih bertalu-talu harmonis dengan salawat atas nabi mereka, Nabi Muhammad saw.
Kekhidmatan seketika tercipta saat salawat berulang-ulang terlafazkan, keluar dari mulut-mulut anak-anak, remaja, lelaki, perempuan, orang tua. Obor-obor seakan-akan menjadi simbol suluh atas perjalanan hidup mereka di dunia ini kendati tempat yang mereka tuju adalah balai desa. Sungguh suatu budaya yang patut untuk terus dilestarikan karena Muharaman begitu menyimpan nilai seni selain juga nilai moral. Walaupun Muharaman hanya diselenggarakan dengan pawai obor setiap kali memperingatinya, para warga kampung begitu antusias. Mengularnya iring-iringan pawai obor itu adalah bukti dari antusias tersebut.
Di dalam iring-iringan yang mengular lalu berbelok mengikuti ruas jalan menuju balai desa, satu gadis desa berkerudung khas, berpakaian sopan dan sederhana, menjadi pusat perhatian. Para pengendara yang tertahan perjalanannya akibat melintasnya iring-iringan itu bak terhipnotis dan terpana. Tak lepas mata mereka memandang “bidadari” itu, sedangkan gadis desa itu taktahu bahwa dirinya adalah sumber dari segala peristiwa “terpana” para pengendara.
Tangan satu sopir mencolek si Ujang yang barusan turun menyetop mobil mereka. “Eta saha, Jang [itu siapa, Jang]?” tanyanya.
Si Ujang menengok, “O … eta anak na Ajengan De [o … itu anak Ajengan De].”
Si sopir mendecak-decak lantas menengok pada teman semobil yang duduk di samping, “Eta geura …, sugan teh ngan wing hungkulnu molohok [aduh …, saya kira cuma saya yang bengong].” Tangan kirinya mendorong bahu teman semobilnya supaya lepas dari “pengaruh hipnotis”. Dia berkata sembari tertawa-tawa tak lama kemudian.
Setelah tersadar, teman semobil si sopir pun berkilah, “Rezeki eta, rezeki. Rezeki jang panon [rezeki itu, rezeki. Rezeki buat mata].” Nada bicaranya jelas sekali bercanda untuk menyembunyikan rasa malu.
Sementara itu, gadis desa itu terus melangkah bersama iring-iringan pawai obor, mengikuti ruas jalan yang menurun. Melalui saujana matanya, kelap-kelip iring-iringan pawai obor dari satu kampung sudah pula terlihat. Gadis desa itu terus melangkah bersama obor yang dipindah-genggamkannya ke tangan kanan. Cahaya obor dalam genggamannya sempat memperjelas raut simetris wajahnya. Tulang hidungnya yang tidak seberapa menjulang membelah dua kelopak matanya yang beralis bak semut hitam berbaris rapi melengkung. Rekahan sepasang bibir yang berulang kali melafazkan puja-puji—salawat nabi—senantiasa menemaninya melangkah bersama iring-iringan pawai obor tersebut. Gadis desa itu berjalan bersama dua orang teman yang sebaya.
Iring-iringan pawai obor melintasi hamparan persawahan. Meskipun tidak terlalu lebar, ruas jalan itu menjadi penghubung jalan menuju kampung lainnya. Kelak-kelok jalan tersebut membelah petak-petak sawah yang berada di sisi kiri dan kanan ruas jalan. Terkadang ruas jalan itu menanjak lalu tak lama kemudian berganti menurun. Selama itu pula pujian tetap menggema diiringi suara bertalu-talu dari beduk yang ditumpangkan di atas gerobak lalu ditarik oleh satu orang selagi satu orang lainnya memukul beduk itu sembari berjalan di belakang gerobak.
“Wina, kamu enggak pegal, kan?” tanya si gadis desa pada satu temannya.
Tampak pipi si gadis yang dilihat oleh Wina akibat cahaya obor sempat menerangi wajahnya. “Ah, enggak, kok, Nun. Masak jalan saja capek, sih. Ini belum seberapa. Kamu masih ingat, kan, sewaktu kita KKN di sini? Itu selain capek, juga bikin kesal,” jawab Wina.
“Eh, iya ya, Teh Wina,” timpal teman sebaya Nun lainnya. “Dulu Teh Ainun dan Teh Wina KKN di sini, kan.”
Ainun dan Wina hanya bisa tersenyum disela-sela suara beduk yang bertalu-talu.
Lantas Ainun berkata, “Kamu masih ingat juga ya, Pon? Padahal KKN itu sudah lumayan lama juga, loh.” Matanya melirik Wina meski Wina tak tahu.
“Ya ingat, lah, Teh,” balas Popon. “Apalagi, kalau Popon enggak salah ingat, ada Kang ....” Popon tak melanjutkan ucapannya.
Wina cepat menyambut, “Sudahlah, Pon, Nun, jangan diungkit lagi deh soal itu.”
Saat mereka berbincang, kelap-kelip obor yang dibawa oleh warga Kampung Sukasirna ikut masuk mengular bersama iring-iringan pawai obor tersebut. Mereka semua masih terus berjalan berpawai obor dengan mengumandangkan salawat hingga menuju balai desa yang terjarak sekitar empat puluhan menit lagi, kira-kira. Makin lama pawai obor itu makin mengular dengan makin banyaknya rombongan dari setiap kampung yang ikut bergabung dalam iring-iringan sehingga mengular sepanjang dua ratus—tiga ratusan meter.
Dari kejauhan mulai tampak bangunan balai desa oleh orang-orang kampung yang berpawai walau remang-remang. Kubah langit berbintik-bintik cahaya seakan-akan rida akan perjalanan pawai obor itu. Meskipun hawa sejuk khas pedesaan pada waktu malam bagai menusuk pori-pori kulit orang-orang kampung yang berpawai, kesejukan itu tidak membawa mendung. Udara malam yang meliputi mereka yang berpawai itu hanya membawa kesejukan. Kemudian, rombongan pawai paling depan berbelok memasuki pelataran balai desa.
Sementara itu, panggung acara Muharaman yang terpusat di balai desa jelas terang benderang. Sesudah berbelok, pandangan mata para peserta pawai bisa dipastikan akan mencari terlebih dahulu di mana panggung itu. Salah satu tujuan mereka berpawai adalah ikut manggung di panggung balai desa. Setiap kampung diperbolehkan menyumbangkan olah kesenian yang mereka mampu tampilkan di atas panggung balai desa.
Rupanya, pawai obor itu juga menjadi salah satu sarana silaturahmi para warga Desa Margalakasana. Dengan terselenggaranya Muharaman yang dimulai dengan berpawai dari kampung tempat tinggal mereka masing-masing, berkumpullah mereka di Balai Desa Margalakasana. Para ajengan, sesepuh tiap kampung, perangkat desa, berbaur menyatu serta silih sapa dengan warga desa. Dua pembawa acara bergaya sopan walau kadang terselip canda setiap kali menyapa warga, dan ajengan serta sesepuh juga perangkat desa yang sudah hadir. Dari atas panggung, setiap kali ada rombongan pawai obor yang baru saja masuk ke pelataran balai desa, dua orang pembawa acara itu menyambut mereka. Tak lupa mereka berdua menyebutkan dari kampung mana rombongan pawai itu berasal, beserta menyebutkan nama ajengan dan sesepuh kampung tersebut. Kebersamaan dalam kesederhanaan jelas sekali tampak di pelataran balai desa. Rombongan yang sudah hadir mengisi hamparan berumput hijau di pelataran balai desa yang masih lapang bagai saf-saf. Rombongan itu rapi duduk santai beralaskan tikar, koran, bahkan sandal jepit.