Waktu subuh, geliat aktivitas di dapur rumah Ajengan De sudah dimulai selepas mereka salat Subuh. Tidak ada yang istimewa lantaran kedatangan Wina. Wina sudah dikenal oleh Ajengan De dan istri, kakak dan adik Ainun sejak KKN dahulu. Pintu rumah mereka yang berdekatan letaknya dengan masjid sudah terbuka. Begitu pula dengan jendela-jendela juga sengaja dibuka sebagai jalan udara pagi masuk ke dalam tiap-tiap ruangan rumah.
Humairoh, istri dari Ajengan De, begitu cekatannya. Bersama Ainun dan dibantu pula oleh Wina, mereka bertiga berbagi tugas seperti menjerang air, menanak nasi, memasak lauk-pauk sederhana untuk sarapan pagi meskipun hanya dengan memanaskan sisa lauk pauk yang belum habis dimakan semalam. “Mubazir,” begitu kata Humairoh. Wejangan singkat yang dulu pernah Wina dengar keluar dari mulut istri ajengan itu ketika pertama kali tinggal sementara di rumah mereka selama masa KKN.
“Ai ...,” sapa lembut Humairoh.
“Ya, Mih,” sahut Ainun sementara tangannya masih sibuk bergerak mencuci wadah-wadah makanan yang kotor di tempat cuci piring. Lantas, Ainun bangkit dari berjongkok dan berjalan menghampiri Humairoh, ”Ada apa, Mih?”
Wina yang juga cekatan membantu mengisi termos air panas dengan gayung, ikut pula menoleh dan menjeda gerak tangan kanannya yang masih memegang gagang gayung.
“Selesai kamu dan Wina di dapur, Mimih minta tolong kamu, ya, belanja lalapan, ayam potong, leunca buat tutug oncom, terus ....” Humairoh mendongak sebentar untuk mengingat-ingat bahan masakan apa lagi yang hari ini akan dia olah. Sambil menunggu kalimat Humairoh berlanjut, Wina melanjutkan mengisi termos air, sedangkan Ainun sabar menanti. “Cengek domba, muncang buat sayur lodeh,” kata Humairoh lagi.
Ainun mengangguk sopan dan berkata, “Iya, Mih. Ai mandi, Win mandi, sudah cantik, baru berangkat belanja, ya, Mih.”
Humairoh tidak segera menyambut ucapan anaknya. Dia sedang mengangkat dandang dari atas tungku lalu menurunkannya di lantai dapur. Sesudah itu, barulah dia berkata, “Iya, dong. Anak perawan kudu cantik, supaya enteng jooo ....”
“Ging,” sambar suara lelaki tiba-tiba dan tanpa disadari oleh mereka bertiga yang sedang berada di dapur rumah. Lalu lelaki itu tertawa.
Humairoh, Ainun, dan Wina serentak mencari sumber suara tawa.
“Eh, aya [ada] Neng Wina.”
Ainun mendengus, “Uh, ganjen.”
Mereka bertiga menemukan Badru, kakak Ainun, yang sudah tidak serumah lagi semenjak bekerja di kampung sebelah. Meski begitu, kadang dia mampir menengok keadaan ibu-bapaknya pada waktu luangnya.
Ainun berkata, “Tumben, ujug-ujug langsung masuk dapur.”
“Iya, ada kabar angin, dengar-dengar, semalam ada ‘bidadari’ barakakakan [terbahak] di tengah pidato kades.”
Ainun mendelik kepada Badru lalu memberi tanda dengan lirikan bola matanya: jangan sampai Mimih dan Apa tahu. Wina seketika menjadi salah tingkah. Dia bingung hendak bagaimana bertingkah setelah Badru berkata. Malu dan menundukkah Wina? Pura-pura cuek seolah-olah Wina tak mendengar ucapan Badru-kah? ..., atau lemparkan saja gayung itu tepat mengenai bibir Badru, Win?
Sepertinya Humairoh tak terpengaruh gurauan dari ucapan yang keluar dari mulut kedua anaknya itu. Bahkan, dia malah menanyakan di mana si Bungsu berada.
“Alit, ada di halaman rumah, Mih, menemani Apa membersihkan halaman,” jawab Badru, dan hanya mendapatkan “Ooo” dari sang mimih (ibu).
Jabat tangan antara Wina dan Badru pun terjadi.
“Apa kabar, Neng Wina?”
Wina menjawab, “Baik.” Gayung berhasil dia letakkan tidak di bibir Badru, melainkan di atas meja yang letaknya tak jauh dari tempat dia berdiri salah tingkah. Demi mencegah imajinasi liar yang bisa saja menjadi kenyataan, Wina lantas mencari kesibukan. Tangannya segera meraih lap dan kakinya melangkah ke kiri sebentar ke kanan bersama tangannya yang bergerak-gerak mengelap tetesan air di meja. Cekatan pula dia menutup kepala termos yang sudah terisi penuh dengan air mendidih, semendidih hatinya yang bergolak akibat kelugasan ucapan Badru.
Beres. Meja sudah kering. Termos sudah terisi air dengan kepalanya sudah tertutup rapat.
“Nun, Kang, Bik Umai,” panggil Wina. “Saya pamit, mau mandi dulu.”
Humairoh menganggukkan kepala berciput-nya. Badru juga menganggukkan kepala dan tersenyum dengan pandangan mata mengikuti tubuh Wina yang ditemani Ainun melangkah meninggalkan dapur rumah orang tuanya.
“Ai ..., Ai ...,” panggil Badru.
“Naon [apa]?” Ainun menoleh sehingga langkahnya terhenti sejenak.
“Eta cucian kotor na can anggeus [itu cucian kotor belum dibereskan].”
“Pan aya kakang Ai nu pang-’beger’, eh, pangbageur na [ada kakang Ai yang paling-‘beger’, eh, yang paling baik, bukan]?” tanya retorik Ainun bernada gurauan sekaligus menyindir untuk menimpali ucapan Badru. Secara tersirat, Ainun meminta tolong Badru menyelesaikan pekerjaannya. Sesudah itu, Ainun kembali melangkah cepat sembari berpegang pada lengan Wina.
Kali ini Badru yang mendengung mulutnya dan mendengus, sedangkan Humairoh terkekeh meskipun pelan, mendapatkan hiburan pagi dari kedua anaknya.
ﬞ¬—ﬞ
Satu jam berlalu. Ainun dan Wina sedang berada di dalam kamar Ainun untuk mempercantik diri usai mereka mandi pagi. Mempercantik diri untuk perempuan yang memang sudah dianugerahi kecantikan sejak lahir seperti Wina An dan Ainun, tentu tidaklah sulit. Hanya saja, entah mengapa jodoh hingga detik-detik mereka menghabiskan waktu di kamar belum juga datang bertandang kepada Ainun dan Wina. Itulah perihal pelik.
Jodoh tidaklah sepelik jodoh untuk Wina dan Ainun bagi Popon. Pada umur balig, jodoh sudah datang menghampirinya. Dengan segala kesederhanaan lelaki desa berikut kepolosan juga takzimnya atas pertalian jodoh yang sudah dirancang oleh orang tua, Samedi menerima dengan tunduk-patuh, melamar dan menikahi Popon. Begitu pula dengan Popon yang sedari kecil hidup diliputi oleh adat istiadat turun-temurun. Dia pun memahami bahwa arti dari perjodohan adalah berbakti kepada orang tua. Tidak selalu perjodohan berpretensi buruk meskipun terkadang ada cerita yang mengungkapkan tentang sial-merana-tiada-akhir-nya hidup anak manusia akibat dijodohkan orang tua.
Perjodohan dan perjomloan adalah dua hal yang tidak diinginkan oleh Wina juga Ainun.
Lebih mudah bagi Wina dan Ainun untuk memahami sehingga meyakini bahwa jodoh itu pasti sudah tersedia. Mereka hanya harus bersabar menunggu sembari berikhtiar, berdoa, selanjutnya .... Cling! Jodoh tersaji di hadapan mereka berdua.
Lihatlah. Pagi-pagi saja mereka sudah berkhayal.
“Sarapan dulu, yuk,” ajak Ainun. Puas sudah dia mematutkan diri di depan kaca.
Wina mengiyakan sembari tersenyum atas ajakan Ainun lalu mereka keluar dari kamar menuju ruang makan. Sewaktu mereka berdua sedang menikmati sarapan, Alit berjalan masuk ruang makan dan hendak ke kamar mandi.
“Nyarap [sarapan], Lit,” Wina berbasa-basi.
“Kop, mangga, Teh. Alit hoyong ibak heula [silakan, silakan, Kak. Alit mau mandi dulu].”
“Apa jeung Mimih ka mana [Bapak dan Ibu ke mana], Lit?”
“Aya, caralik di teras, Teh Ai [ada, sedang duduk-duduk di teras, Kak Ai].”
“Kang Badru?”
“Tos uih, Teh [sudah pergi, Kak].”
Lalu Alit berlalu ke kamar mandi, dan berlalu pula Wina dan Ainun dari meja makan—untuk sarapan—setengah jam kemudian setelah berpamitan kepada Humairoh dan Ajengan De.
Keramahan dan kesejukan udara senantiasa menyapa Ainun dan Wina. Selepas melangkah keluar dari rumah lalu menyusuri jalan setapak kampung, setiap kali berpapasan dengan satu atau beberapa warga kampung, selalu mereka ditanya: “Ka mana, Neng Ai [ke mana, Nona Ai]?”
“Ka lebak [ke bawah],” jawab ramah Ainun. “Lebak” yang dimaksud oleh Ainun adalah berjalan menyusuri jalan setapak yang menurun. Kadang pula mereka berdua harus mengikuti jalan setapak yang berkelok.
“Kita ke rumah Popon, Win,” ajak Ainun.
“Enggak bikin ribet dia, kan?” Wina merasa canggung sebab merasa sudah merepotkan Popon.
“Aah ..., enggak, kok. Lagian, sebagai mamah muda, Popon punya jadwal belanja setiap pagi, kok. Ya ..., kira-kira dia ke luar rumah untuk belanja sekitar jam segini.”
“Ya sudah.”
Langkah-langkah mereka berdua berbelok kanan keluar dari jalan setapak yang agak menurun. Tidak lama kemudian, kaki-kaki mereka melompati gemercik air yang mengaliri kali kecil, dan membawa tubuh mereka berdua tiba di atas satu pematang sawah. Sawah berpetak-petak menghijau bagai dibelah oleh kaki-kaki mereka yang melangkah menyisiri rumput pematang menuju satu arah yang sudah terlihat dari kejauhan, yaitu rumah Samedi dan Popon. Petak-petak sawah sengked masih dihinggapi rintik embun yang menempel di antara bulir padi. Sebagian dari rintik embun itu berpindah membasahi pakaian yang dikenakan oleh Wina dan Ainun saat mereka berjalan dan bersentuhan dengan bulir padi berdaun basah oleh embun. Sensasi rasa yang menyentuh kulit akibat ulah bulir padi itu begitu terasa. Betis-betis mereka seakan-akan dibelai-belai lalu basah begitu saja.
Tibalah Wina dan Ainun di jalan setapak setelah tapak-tapak kaki mereka meninggalkan galangan. Selama mereka berjalan, beberapa rumah panggung mereka lewati. Kebanyakan, rumah-rumah di kampung Ainun memang dominan berbahan dasar kayu dan bambu. Pondasi rumah menggunakan batang-batang kayu sama ukuran yang ditanam dalam tanah. Pondasi rumah berbahan batang-batang kayu itu terpancang. Ada yang berpondasikan dengan empat batang kayu terpancang, enam batang kayu, delapan batang kayu, sesuai dengan luas rumah yang didirikan. Lantai rumah terbuat dari potongan bambu yang dibelah sedemikian rupa lalu dianyam, dan pada bagian-bagian tertentu dipaku sebagai pengganti tali yang berfungsi sebagai pengikat, serta dipelitur hingga mengilap, atau dibiarkan begitu saja tanpa warna. Begitu pun dengan dinding rumah, masih banyak yang menggunakan anyaman bambu berpadu dengan batang-batang kayu beragam ukuran. Rangkaian genting tanah liat tersusun rapi pada bagian atas rumah kendati masih ada rumah yang menggunakan daun rumbia sebagai atap.
Sampailah mereka berdua persis di depan rumah Samedi dan Popon.
“Assalamualaikum,” sapa Ainun memberi salam, begitu pun Wina, “Assalamualaikum.” Mereka berdua berdiri di depan titian rumah panggung yang dikelilingi oleh balong. Untuk sampai di depan pintu rumah Samedi dan Popon, titian itu adalah sarana kaki untuk melintasi balong yang meliputi rumah mereka.
Sesekali terdengar suara mesin juki yang berasal dari rumah panggung berbalong selama mereka berdua menunggu balas sapa dari empunya rumah. Namun, takada jawaban. Wina dan Ainun mengulang lagi salam mereka beberapa kali dengan volume suara lebih keras.
Suara mesin juki yang terdengar selama mereka mengucapkan salam berulang kali pun terhenti dengan terbukanya pintu rumah.
“Wa’alaikumsalam,” balas sapa Samedi. “Eh, aya Neng Ai sareng Neng Wina. Mangga, mangga ka lebet [eh, ada Nona Ai dan Nona Wina. Silakan, silakan masuk].”
“Wios, Kang. Eta, Ceu Popon aya [tidak usah, Kang. Itu, Kak Popon ada]?” sambut Ainun.
“Aya. Diantos sakeudap nya [ada. Ditunggu sebentar, ya].”
Yang dicari keluar dari kamar rumah bersama Leha yang sudah rapi berseragam sekolah, lima menit kemudian. Leha mencium punggung tangan Samedi, begitu pula dengan Popon. Senyampang melihat Samedi-Leha-Popon begituan, Wina dan Popon menelan ludah lalu refleks memalingkan muka, menghindari kenyataan perjodohan sukses di hadapannya. Wina dan Ainun masih begituan sementara Leha dan Popon berjalan meniti titian dari lantai depan rumah menuju ujung titian.
“Hati-hati, Pop, Leha,” kata Samedi.
Begitu mendengar perkataan Samedi yang bernada khawatir beranasir kemesraan, makin menangis saja sepertinya hati Wina dan Ainun karena hingga detik ini mereka masih betah di kancah perjomloan. Kapan ya, aku diperhatikan seperti itu? Barangkali begitu isi hati mereka yang berderai air mata hati yang bersedih.
Biarpun begitu, “tangan persahabatan” diulurkan oleh Ainun yang meraih jemari Leha untuk tiba dengan selamat diujung titian. Leha dan Popon pun tiba dengan selamat di ujung titian. Kemudian, mereka berempat berpamitan dengan mengucapkan salam yang lekas dijawab pula oleh Samedi. Setelah pintu rumah tertutup, terdengar lagi suara mesin juki dengan irama membordir-nya yang khas.
“Disuruh belanja, ya?” tanya Popon saat langkah-langkah mereka menyusuri jalan setapak.
“Iya,” jawab Ainun.
“Bade ka mana Neng-neng geulis [hendak ke mana, Nona-nona yang cantik]?” sapa seorang lelaki paruh baya memanggul pacul dan bedog (golok) tergantung di pinggangnya, yang berpapasan sewaktu mereka masih melangkah.
“Ka lebak, Bah Enok [ke bawah, Pak Enok],” sahut Popon sembari tersenyum.
Berlima mereka sempat terhenti sejenak dan saling tersenyum ketika berbalas sapa. Lalu lelaki itu mengangguk dan lanjut melangkah. Basa-basi sederhana yang diperagakan mereka tanpa butuh jawaban detail, hanya menebarkan senyum dan merawat silaturahmi di antara mereka.
“Pon, mau ikut ke balai desa lagi, enggak? Teh Ai dan Teh Wina mau ke sana.”