Selepas waktu magrib, lampu-lampu rumah warga menerangi perjalanan pulang Samedi, Ajengan De, dan beberapa orang yang berjalan berdampingan dua-dua setiap baris di atas jalan setapak kampung mereka. Mereka bersapa-salam satu per satu ketika hendak memisahkan diri dari rombongan karena sudah tiba di depan rumah, juga sewaktu hendak berbelok memasuki jalan setapak yang bercabang. Ajengan De adalah orang pertama yang memisahkan diri dari rombongan itu sebab letak rumahnya tak terlalu jauh dari masjid.
“Marangga, sadayana [permisi, semuanya], Bapak-bapak. Assalamualaikum,” ujar Ajengan De diiringi basa-basi.
“Mangga [silakan],” sambut suara rombongan itu nyaris bersamaan. “Waalaikumsalam.”
Sepanjang perjalanan, sayup-sayup dari rumah warga kampung terdengar suara si empunya rumah mengaji Alquran. Lantunan ayat-ayat suci terlafazkan dari mulut perempuan maupun anak kecil. Selepas mendirikan Salat Magrib, mengaji adalah satu hal yang sudah mendarah daging bagi kebanyakan warga kampung. Sebagian besar lelaki bersalawat atau mengaji di masjid usai Salat Magrib berjamaah. Selain itu, bagi warga kampung, mengaji mereka jadikan suatu cara yang bermanfaat untuk mengisi waktu sembari menunggu waktu Salat Isya datang. Mengaji juga sebagai sarana untuk menghibur jiwa, yang juga berpahala, dengan mata mereka melihat ayat-ayat Alquran, mulut memperdengarkannya, serta telinga menyimak, dan jiwa terbasuh sehingga hati menjadi sejuk, sekaligus sebagai pereda lelah yang melekat di badan selama seharian mereka beraktivitas. Di ujung perjalanan pulang rombongan, tersisa Samedi yang masih berjalan sendirian menuju rumah.
Terang lampu rumah Popon sudah terlihat walau tak seberapa terang. Samedi melangkah sementara matanya awas memperhatikan titian selebar enam puluh sentimeter yang menghubungkan jalan setapak dengan teras rumah yang berlantaikan bilah-bilah bambu teranyam. Ketika masih melangkah di atas titian, Samedi diintip oleh ikan-ikan yang menyembul sebentar di permukaan air balong miliknya. Samedi tiba-tiba menghentikan langkahnya di atas titian lalu berbalik arah menuju satu tempat. Dia teringat akan balong di sekeliling rumah belum ditutup. Budi daya ikan yang diusahakannya bakal sia-sia jika isi balongnya itu habis dimakan pemangsa. Masih dengan sarung dan baju koko yang dia kenakan, tangan Samedi sigap dan cekatan mengangkat bilah bambu teranyam seukuran luas balong yang meliputi rumahnya. Satu per satu dia angkat lembaran-lembaran bambu teranyam untuk menutupi permukaan balong. Hanya bagbag-an pada satu sudut balong saja yang dibiarkannya terbuka. Permukaan balong itulah yang dia tutupi dengan menggunakan beberapa lembar anyaman bilah-bilah bambu.
Setelah balong milik Samedi sudah dirasa aman dari gangguan binatang malam, dia kembali meniti menuju halaman rumah lalu membuka pintunya, dan masuk ke dalam rumah.
Rumah berlantaikan karpet tipis yang dialasi tripleks lantas dialasi lagi dengan anyaman batang-batang bambu menderit setiap kali dipijak oleh Samedi yang melangkah menuju satu sudut ruangan di dalam rumah. Hal yang ditengok sejenak oleh dia adalah mesin juki miliknya. Salah satu sumber penghasilan Samedi berasal dari kemampuannya mengoperasikan mesin juki. Dia lalu berjalan menuju satu sudut kamar kerjanya untuk menanggalkan baju koko dan sarung lantas berbalik badan serta melangkah menghampiri Popon yang sedang mengaji di dalam kamar tidur.
Belum genap langkah Samedi tiba di kamar tidur, Leha sudah terlebih dahulu keluar dari kamar tidur dan merengek-rengek minta digendong. Sepertinya Leha kangen kepada sang bapak. Samedi meraih tubuh Leha dan menggendongnya. Dia batal masuk kamar, malah bersenda gurau dengan Leha sembari terus melangkah disela suara Leha yang tertawa riang lantaran canda Samedi.
Pijakan kaki terdengar deritannya. Suara deritannya berasal dari kamar tidur. Rupanya Popon sudah selesai mengaji lalu melangkah keluar dari kamar tidur, dan menghampiri anak-bapak yang sedang asyik riang bercanda di tengah ruang rumahnya.