Sebuah pertanyaan menyelinap ke dalam benak Wina, yang tersirat dari ekspresi wajahnya saat terakhir kali melihat bagaimana Ainun dan Wibawa bersipandang. Walaupun dia belum bisa memastikan dengan pasti, setidaknya firasat Wina seperti mengatakan: ada sesuatu yang tersembunyi atau disembunyikan dengan sengaja, entah oleh Ainun, atau oleh Wibawa.
“Win, setelah ini, apa rencana kamu selanjutnya?”
Wina tak bersegera menjawab. Matanya masih tekun membaca buku tentang sejarah wilayah Tasikmalaya. Hanya sekali dia mengerling kepada Ainun lalu lanjut membaca sembari duduk di halaman rumah Ajengan De selepas waktu Isya.
“Rencana kamu sendiri, apa?” Wina balik bertanya sementara matanya tak lepas dari halaman buku yang sedang dia baca.
Ainun menghentikan tangannya yang sibuk menata pot-pot kecil tanaman hias yang dia rawat. Dia menoleh, berkata di antara langkah-langkahnya yang menghampiri Wina, “Yang kumaksud itu, rencana kamu mencari informasi asal muasal ‘menhir’ itu, lho.”
“Assalamualaikum,” salam Ajengan De yang rupanya sudah berada di halaman rumah ketika Ainun berjalan menghampiri Wina.
Wina dan Ainun segera balas menjawab salam dengan agak kaget.
“Menhir naon, Neng Geulis [menhir apa, Neng Cantik]?”
“Eta Apa, ‘menhir’ dina foto [itu, Pak, ‘menhir’ di dalam foto],” jawab Ainun sopan sembari duduk di samping Wina. Lantas, Ainun menoleh dan berkata kepada Wina, “Coba ambil foto itu, Win, siapa tahu, Apa (Bapak) tahu.”
Ajengan De lalu ikut pula menghampiri satu kursi dari empat kursi yang mengelilingi satu meja kecil persegi panjang, kemudian dia duduk di kursi tersebut. “Menhir naon, sih [menhir apa, sih], Neng Wina?” tanya dia sembari memberikan seulas senyum walau ada pancaran rasa penasaran dari wajahnya.
Wina membalas senyuman Ajengan De. “Wina ambil dulu ya foto itu, Pa,” ujar Wina. Melangkahlah Wina pergi meninggalkan Ainun dan Ajengan De yang duduk menunggunya. Buku yang tengah dia baca ikut pula terbawa oleh tangannya.
Sepuluh menit berselang, tak jua Wina keluar dari kamar dan kembali ke halaman menemui Ainun dan Ajengan De. Hanya saja, Ainun melihat kepala Wina sempat melongok-longok dari balik pintu masuk rumah yang terbuka, dan tangan Wina memberi isyarat supaya Ainun menghampirinya.
“Apa, diantos sakedap, Pa [Pak, tunggu sebentar, Pak],” ucap Ainun sopan untuk meminta Ajengan De jangan beranjak dulu dari kursi.
Setelah Ainun sudah dekat menghampiri Wina, tangan Wina segera menggeret pergelangan tangan kanan Ainun. Berdua mereka melangkah tergesa-gesa untuk masuk ke dalam kamar Ainun.
“Ada apa, sih?”
“Foto itu hilang, enggak ada di dalam tasku.”
“Kamu ingat-ingat lagi, dong, Win.”
“Ya kamu juga bantu aku untuk mengingat-ingat lagi foto itu di mana.”
“Mungkin tertukar enggak ya ....”
“Tertukar? Maksud kamu apa, sih, Nun?”
“Dua hari yang lalu, sepulang dari balai desa, sepertinya aku bayar dua bungkus es kelapa pakai ‘menhir’ itu.”